Menurut
R.Ng. Ranggawarsita (1802-1873)
Pokok keilmuan Syekh Siti Jenar disebut sebagai “Ngelmu
Ma’rifat Kasampurnaning Ngurip” (ilmu ma’rifat kesempurnaan hidup [the science
of ma’rifat to attain perfection of life]). Ranggawarsita menyebutkan basis
ilmiah ajaran tersebut adalah renungan
filsafat
yg bentuk aplikasinya adalah metafisika dan etika.
Ajaran metafisika meliputi ontologi,
kosmogoni dan antropologi. Ontologi berbicara tentang Ada dan tidak ada. Dalam
hal ini, Syekh Siti Jenar merumuskan tentang the Reality of the Absolute being
(hakikat
Dzat Yang Maha Suci) yg memiliki sifat, nama dan perbuatan “Kami”. Dari “Kami”
inilah kemudian muncul “ada” dan “keadaan” lain, yg sifat hakikinya adalah
“Tunggal”.
Manusia yg dalam hidupnya di alam
kematian dunia
ini disebut sebagai khalifatullah (wakil Allah=pecahan ketunggalan Allah), dan
kemudian ia harus berwadah dalam bentuk jisim (jasmani) ia harus menyandang
gelar “kawula”, sebab jasad harus melakukan aktivitas untuk memelihara jasadnya
dari kerusakan dan untuk menunda kematian yg disebut :”ngibadah” kepada yg
menyediakan raga (Gusti). Maka kawula hanya memiliki satu tempat kembali, yakni
Allah, sebagai asalnya. Maka manusia tidak boleh terjebak dalam wadah yg hanya
berfungsi sementara sebagai “wadah” Roh Ilahi. Justru Roh Ilahi inilah yg harus
dijaga guna menuju ketunggalan kembali (Manunggaling Kawula Gusti).
Ajaran ini banyak ditentang karena
Tuhan dan manusia adalah hal yang berbeda. Tuhan yang mencipta sedangkan
manusia yang diciptakan. Jadi antara yang menciptakan dan yang diciptakan tidak
bisa bersatu.
Kalo logikanya orang awam : manusia menciptakan mobil ya brarti mobil dan manusia memang berbeda. Manusia mengambil bahan baku untuk membuat mobil diluar dirinya. nah kalau Tuhan menciptakan manusia. Apakah ia juga mengambil bahan baku diluar diri-Nya?
Kalo logikanya orang awam : manusia menciptakan mobil ya brarti mobil dan manusia memang berbeda. Manusia mengambil bahan baku untuk membuat mobil diluar dirinya. nah kalau Tuhan menciptakan manusia. Apakah ia juga mengambil bahan baku diluar diri-Nya?
Ada beberapa martir sufi yang
mengakui ajaran ini misalnya syeh siti jenar dgn slogannya “Tiada Tuhan
Melainkan Aku”. Atau Al Hallaj yang mengatakan “Ana Al Haqq”. Bahkan ada hadist
nabi yang menceritakan bahwa nabi Muhammad sendiri pernah mengatakan “Ana Ahmad
bi la mim” (Ahad) artinya ya Nabi seakan-akan bilang dirinya Tuhan. istilah2
tersebut jelas menandakan bahwa Tuhan ada di dalam diri mereka. Bahkan di Quran
pun dikatakan bahwa Allah itu lebih dekat daripada urat leher kita.
Bagi mereka yang mampu melakukan zikir
hingga mencapai tahan “fana” maka biasanya ia akan mengalami “mahzub”. Namun
mahzub tidak mesti dalam keadaan fana. Mahzub bisa terjadi dalam keadaan sadar.
Manusia yang mengalami mahzub biasanya akan mengatakan “Subhani” (Maha Suci
Aku) dan istilah2 lain yang “meniadakan” dirinya sendiri sehingga memunculkan
Tuhan dalam dirinya.
Ajaran
MKG mengajarkan bahwa ada 3 unsur yang menyatu yaitu :
1.Sukma Kawekas (Nur Illahi)
2. Sukma Sejati (Nur Muhammad)
3. Nur Insan
2. Sukma Sejati (Nur Muhammad)
3. Nur Insan
Sasahidan
Syekh Siti Jenar…
“Insun anakseni ing Datingsun dhewe,
satuhune ora ana Pangeran amung Ingsun, lan nakseni Ingsun satuhune Muhammad
iku utusan Ingsun, iya sajatine kang aran Allah iku badan Ingsun, Rasul iku
rahsaning-Sun, Muhammad iku cahyaning-Sun, iya Ingsun kang eling tan kena ing
lali, iya Ingsun kan langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati, iya
Ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-wiji, iya Ingsun kang amurba
amisesa, kang kawasa wicaksana ora kukurangan ing pangerti, byar.. sampurna
padhang terawang-an, ora karasa apa-apa, ora ana keton apa-apa, mung Insun kang
nglimputi ing ngalam kabeh, kalawan kodrating-Sun.”
Artinya :
“Aku angkat saksi di hadapan Dzat-Ku
sendiri, sesungguhnya tidak ada Tuhan kecuali Aku, dan Aku angkat saksi
sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku, sesungguhnya yg disebut Allah Ingsun diri
sendiri (badan-Ku), Rasul itu Rahsa-Ku, Muhammad itu cahaya-Ku, Akulah Dzat yg
hidup tidak akan terkena mati, Akulah Dzat yang selalu ingat tidak pernah lupa,
Akulah Dzat yg kekal tidak ada perubahan dalam segala keadaan, (bagi-Ku) tidak
ada yg samar sesuatupun, Akulah Dzat yang Maha Menguasai, yang Kuasa dan
Bijaksana, tidak kekurangan dalam pengertian, sempurna terang benerang, tidak
terasa apa-apa, tidak kelihatan apa-apa, hanya Aku yg meliputi sekalian alam
dengan kodrat-Ku.”
Ajaran-
ajaran Syekh Siti Jenar yang bisa dilacak dalam berbagai karya klasik atau buku
lama…yaitu..
- Serat Dewaroetji, Tan Khoen Swie, Kediri, 1928.
- Serat Gatolotjo, Tan Khoen Swie, Kediri, 1931.
- Serat Kebo Kenanga, Tan Khoen Swie, Kediri, 1921.
- Serat Soeloek Walisongo, Tan Khoen Swie, Kediri, 1931.
- Serat Tjebolek, terbitan van Dorp, Semarang, 1886.
- Serat Tjentini, terbitan Bat. Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, 4 Jl, Batavia, 1912-1915.
- Kitab Wedha Mantra, bunga rampai ajaran para wali yang dihimpun oleh Sang Indrajit, diterbitkan oleh Sadu Budi Solo. PAda tahun 1979 sudah mengalami cetak ulang yg ke-12.
- Suluk Walisanga, karya R. Tanojo yg di dalamnya memuat dialog-dialog antara Syekh Siti Jenar dengan Anggota Dewan Walisanga, gubahan dari karya Sunan Giri II.
- Wejangan Walisanga, dihimpun oleh Wiryapanitra, diterbitkan oleh TB. Sadu Budi Solo, sekitar tahun 1969.
Mengenal
Nama Syekh Siti Jenar
Syekh Siti Jenar (829-923
H/1348-1439 C/1426-1517 M), memiliki banyak nama : San Ali (nama kecil
pemberian orangtua angkatnya, bukan Hasan Ali Anshar seperti banyak ditulis
orang); Syekh ‘Abdul Jalil (nama yg diperoleh di Malaka, setelah menjadi ulama
penyebar Islam
di sana); Syekh Jabaranta (nama yg dikenal di Palembang, Sumatera dan daratan
Malaka); Prabu Satmata (Gusti yg nampak oleh mata; nama yg muncul dari keadaan
kasyf atau mabuk spiritual; juga nama yg diperkenalkan kepada murid dan
pengikutnya); Syekh Lemah Abang atau Lemah Bang (gelar yg diberikan masyarakat
Lemah Abang, suatu komunitas dan kampung model yg dipelopori Syekh Siti Jenar;
melawan hegemoni kerajaan. Wajar jika orang Cirebon tidak mengenal nama Syekh
Siti Jenar, sebab di Cirebon nama yg populer adalah Syekh Lemah Abang); Syekh
Siti Jenar (nama filosofis yg mengambarkan ajarannya tentang sangkan-paran,
bahwa manusia secara biologis hanya diciptakan dari sekedar tanah merah dan
selebihnya adalah roh Allah; juga nama yg dilekatkan oleh Sunan Bonang ketika
memperkenalkannya kepada Dewan Wali, pada kehadirannya di Jawa Tengah/Demak;
juga nama Babad Cirebon); Syekh Nurjati atau Pangran Panjunan atau Sunan
Sasmita (nama dalam Babad Cirebon, S.Z. Hadisutjipto); Syekh Siti Bang, serta
Syekh Siti Brit; Syekh Siti Luhung (nama-nama yg diberikan masyarakat Jawa
Tengahan); Sunan Kajenar (dalam sastra Islam-Jawa versi Surakarta baru, era
R.Ng. Ranggawarsita [1802-1873]); Syekh Wali Lanang Sejati; Syekh Jati Mulya;
dan Syekh Sunyata Jatimurti Susuhunan ing Lemah Abang.
Siti Jenar lebih menunjukkan sebagai
simbolisme ajaran utama Syekh Siti Jenar yakni ilmu kasampurnan, ilmu
sangkan-paran ing dumadi, asal muasal kejadian manusia, secara biologis
diciptakan dari tanah merah saja yg berfungsi sebagai wadah (tempat)
persemayaman roh selama di dunia ini. Sehingga jasad manusia tidak kekal akan
membusuk kembali ketanah. Selebihnya adalah roh Allah, yg setelah kemusnaan
raganya akan menyatu kembali dengan keabadian. Ia di sebut manungsa sebagai
bentuk “manunggaling rasa” (menyatu rasa ke dalam Tuhan).
Dan karena surga serta neraka itu
adalah untuk derajad fisik maka keberadaan surga dan neraka adalah di dunia
ini, sesuai pernyataan populer bahwa dunia adalah penjara bagi orang mukmin.
Menurut Syekh Siti Jenar, dunia adalah neraka bagi orang yg menyatu-padu dgn
Tuhan. Setelah meninggal ia terbebas dari belenggu wadag-nya dan bebas bersatu
dgn Tuhan. Di dunia manunggalnya hamba dgn Tuhan sering terhalang oleh badan
biologis yg disertai nafsu-nafsunya. Itulah inti makna nama Syekh Siti Jenar.
Asal
Usul Syekh Siti Jenar
Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun
829 H/1348 C/1426 M (Serat She Siti Jenar Ki Sasrawijaya; Atja, Purwaka
Tjaruban Nagari (Sedjarah Muladjadi Keradjan Tjirebon), Ikatan Karyawan Museum,
Jakarta, 1972; P.S. Sulendraningrat, Purwaka Tjaruban Nagari, Bhatara, Jakarta,
1972; H. Boedenani, Sejarah Sriwijaya, Terate, Bandung, 1976; Agus Sunyoto,
Suluk Abdul Jalil Perjalanan Rohani Syaikh Syekh Siti Jenar dan Sang Pembaharu,
LkiS, yogyakarta, 2003-2004; Sartono Kartodirjo dkk, [i]Sejarah Nasional
Indonesia, Depdikbud, Jakarta, 1976; Babad Banten; Olthof, W.L., Babad Tanah
Djawi. In Proza Javaansche Geschiedenis, ‘s-Gravenhage, M.Nijhoff, 1941;
raffles, Th.S., The History of Java, 2 vol, 1817), dilingkungan Pakuwuan
Caruban, pusat kota Caruban larang waktu itu, yg sekarang lebih dikenal sebagai
Astana japura, sebelah tenggara Cirebon. Suatu lingkungan yg multi-etnis,
multi-bahasa dan sebagai titik temu kebudayaan serta peradaban berbagai suku.
Selama ini, silsilah Syekh Siti
Jenar masih sangat kabur. Kekurangjelasan asal-usul ini juga sama dgn kegelapan
tahun kehidupan
Syekh Siti Jenar sebagai manusia sejarah.
Pengaburan tentang silsilah,
keluarga dan ajaran Beliau yg dilakukan oleh penguasa muslim pada abad ke-16
hingga akhir abad ke-17. Penguasa merasa perlu untuk “mengubur” segala yg
berbau Syekh Siti Jenar akibat popularitasnya di masyarakat yg mengalahkan
dewan ulama serta ajaran resmi yg diakui Kerajaan Islam waktu itu. Hal ini
kemudian menjadi latar belakang munculnya kisah bahwa Syekh Siti Jenar berasal
dari cacing.
Dalam sebuah naskah klasik, cerita
yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas,
“Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia berdarah kecil saja (rakyat jelata), bertempat tinggal di desa Lemah Abang]….
“Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia berdarah kecil saja (rakyat jelata), bertempat tinggal di desa Lemah Abang]….
Jadi Syekh Siti Jenar adalah manusia
lumrah hanya memang ia walau berasal dari kalangan bangsawan setelah kembali ke
Jawa menempuh hidup sebagai petani, yg saat itu, dipandang sebagai rakyat kecil
oleh struktur budaya Jawa, disamping sebagai wali penyebar Islam di Tanah Jawa.
Syekh Siti Jenar yg memiliki nama
kecil San Ali dan kemudian dikenal sebagai Syekh ‘Abdul Jalil adalah putra
seorang ulama asal Malaka, Syekh Datuk Shaleh bin Syekh ‘Isa ‘Alawi bin
Ahmadsyah Jamaludin Husain bin Syekh ‘Abdullah Khannuddin bin Syekh Sayid
‘Abdul Malikal-Qazam. Maulana ‘Abdullah Khannuddin adalah putra Syekh ‘Abdul
Malik atau Asamat Khan. Nama terakhir ini adalah seorang Syekh kalangan ‘Alawi
kesohor di Ahmadabad, India, yg berasal dari Handramaut. Qazam adalah sebuah
distrik berdekatan dgn kota Tarim di Hadramaut.
Syekh ‘Abdul Malik adalah putra
Syekh ‘Alawi, salah satu keluarga utama keturunan ulama terkenal Syekh ‘Isa
al-Muhajir al-Bashari al-‘Alawi, yg semua keturunannya bertebaran ke berbagai
pelosok dunia, menyiarkan agama Islam. Syekh ‘Abdul Malik adalah penyebar agama
Islam yg bersama keluarganya pindah dari Tarim ke India. Jika diurut keatas,
silsilah Syekh Siti Jenar berpuncak pada Sayidina Husain bin ‘Ali bin Abi
Thalib, menantu Rasulullah. Dari silsilah yg ada, diketahui pula bahwa ada dua
kakek buyutnya yg menjadi mursyid
thariqah Syathariyah di Gujarat yg sangat dihormati, yakni Syekh Abdullah
Khannuddin dan Syekh Ahmadsyah Jalaluddin. Ahmadsyah Jalaluddin setelah dewasa
pindah ke Kamboja dan menjadi penyebar agama Islam di sana.
Adapun Syekh Maulana ‘sa atau Syekh
Datuk ‘Isa putra Syekh Ahmadsyah kemudian bermukim di Malaka. Syekh Maulana
‘Isa memiliki dua orang putra, yaitu Syekh Datuk Ahamad dan Syekh Datuk Shaleh.
Ayah Syekh Siti Jenar adalah Syekh Datuk Shaleh adalah ulama sunni asal Malaka
yg kemudian menetap di Cirebon karena ancaman politik di Kesultanan Malaka yg
sedang dilanda kemelut kekuasaan pada akhir tahun 1424 M, masa transisi
kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah.
Sumber-sumber Malaka dan Palembang menyebut nama Syekh Siti Jenar dgn sebutan
Syekh Jabaranta dan Syekh ‘Abdul Jalil.
Pada akhir tahun 1425, Syekh Datuk Shaleh beserta istrinya sampai di Cirebon dan saat itu, Syekh Siti Jenar masih berada dalam kandungan ibunya 3 bulan. Di Tanah Caruban ini, sambil berdagang Syekh Datuk Shaleh memperkuat penyebaran Islam yg sudah beberapa lama tersiar di seantero bumi Caruban, besama-sama dgn ulama kenamaan Syekh Datuk Kahfi, putra Syehk Datuk Ahmad. Namun, baru dua bulan di Caruban, pada tahun awal tahun 1426, Syekh Datuk Shaleh wafat.
Pada akhir tahun 1425, Syekh Datuk Shaleh beserta istrinya sampai di Cirebon dan saat itu, Syekh Siti Jenar masih berada dalam kandungan ibunya 3 bulan. Di Tanah Caruban ini, sambil berdagang Syekh Datuk Shaleh memperkuat penyebaran Islam yg sudah beberapa lama tersiar di seantero bumi Caruban, besama-sama dgn ulama kenamaan Syekh Datuk Kahfi, putra Syehk Datuk Ahmad. Namun, baru dua bulan di Caruban, pada tahun awal tahun 1426, Syekh Datuk Shaleh wafat.
Sejak itulah San Ali atau Syekh Siti
Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela serta penasihatnya, Ki Samadullah atau
Pangeran Walangsungsang yg sedang nyantri di Cirebon, dibawah asuhan Syekh
datuk Kahfi.
Jadi walaupun San Ali adalah keturunan ulama Malaka, dan lebih jauh lagi keturunan Arab, namun sejak kecil lingkungan hidupnya adalah kultur Cirebon yg saat itu menjadi sebuah kota multikultur, heterogen dan sebagai basis antarlintas perdagangan dunia waktu itu.
Jadi walaupun San Ali adalah keturunan ulama Malaka, dan lebih jauh lagi keturunan Arab, namun sejak kecil lingkungan hidupnya adalah kultur Cirebon yg saat itu menjadi sebuah kota multikultur, heterogen dan sebagai basis antarlintas perdagangan dunia waktu itu.
Saat itu Cirebon dgn Padepokan Giri
Amparan Jatinya yg diasuh oleh seorang ulama asal Makkah dan Malaka, Syekh
Datuk Kahfi, telah mampu menjadi salah satu pusat pengajaran Islam, dalam
bidang fiqih dan ilmu ‘alat, serta tasawuf. Sampai usia 20 tahun, San Ali
mempelajari berbagai bidang agama Islam dgn sepenuh hati,
disertai dgn pendidikan
otodidak bidang spiritual.
Padepokan
Giri Amparan Jati
Setelah diasuh oleh Ki Danusela
samapai usia 5 tahun, pada sekitar tahun 1431 M, Syekh Siti Jenar kecil (San
Ali) diserahkan kepada Syekh Datuk Kahfi, pengasuh Pedepokan Giri Amparan Jati,
agar dididik agama Islam yg berpusat di Cirebon oleh Kerajaan Sunda di sebut
sebagai musu(h) alit [musuh halus].
Di Padepokan Giri Amparan Jati ini,
San Ali menyelesaikan berbagai pelajaran keagamaan, terutama nahwu, sharaf,
balaghah, ilmu tafsir, musthalah hadist, ushul fiqih dan manthiq. Ia menjadi
santri generasi kedua. Sedang yg akan menjadi santri generasi ketiga adalah
Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Syarif Hidayatullah baru datang ke
Cirebon, bersamaan dgn pulangnya Syekh Siti Jenar dari perantauannya di Timur
Tengah sekitar tahun 1463, dalam status sebagai siswa Padepokan Giri Amparan
Jati, dgn usia sekitar 17-an tahun.
Pada tahun 1446 M, setelah 15 tahun
penuh menimba ilmu di Padepokan Amparan Jati, ia bertekad untuk keluar pondok
dan mulai berniat untuk mendalami kerohanian (sufi). Sebagai titik pijaknya, ia
bertekad untuk mencari “sangkan-paran” dirinya.
Tujuan pertmanya adalah Pajajaran yg dipenuhi oleh para pertapa dan ahli hikmah Hindu-Budha. Di Pajajaran, Syekh Siti Jenar mempelajari kitab Catur Viphala warisan Prabu Kertawijaya Majapahit. Inti dari kitab Catur Viphala ini mencakup empat pokok laku utama.
Tujuan pertmanya adalah Pajajaran yg dipenuhi oleh para pertapa dan ahli hikmah Hindu-Budha. Di Pajajaran, Syekh Siti Jenar mempelajari kitab Catur Viphala warisan Prabu Kertawijaya Majapahit. Inti dari kitab Catur Viphala ini mencakup empat pokok laku utama.
Pertama, nihsprha, adalah suatu
keadaan di mana tidak adal lagi sesuatu yg ingin dicapai manusia. Kedua, nirhana,
yaitu seseorang tidak lagi merasakan memiliki badan dan karenanya tidak ada
lagi tujuan. Ketiga, niskala adalah proses rohani tinggi, “bersatu” dan melebur
(fana’) dgn Dia Yang Hampa, Dia Yang Tak Terbayangkan, Tak Terpikirkan, Tak
Terbandingkan. Sehingga dalam kondisi (hal) ini, “aku” menyatu dgn “Aku”. Dan
keempat, sebagai kesudahan dari niskala adalah nirasraya, suatu keadaan jiwa yg
meninggalkan niskala dan melebur ke Parama-Laukika (fana’ fi al-fana’), yakni
dimensi tertinggi yg bebas dari segala bentuk keadaan, tak mempunyai ciri-ciri
dan mengatasi “Aku”.
Dari Pajajaran San Ali melanjutkan
pengembaraannya menuju Palembang, menemui Aria Damar, seorang adipati,
sekaligus pengamal sufi-kebatinan, santri Maulana Ibrahim Samarkandi. Pada masa
tuanya, Aria Damar bermukim di tepi sungai Ogan, Kampung Pedamaran.
Diperkirakan Syekh Siti Jenar
berguru kepada Aria Damar antara tahun 1448-1450 M. bersama Aria Abdillah ini,
San Ali mempelajari pengetahuan tentang hakikat ketunggalan alam semesta yg
dijabarkan dari konsep “nurun ‘ala nur” (cahaya Maha Cahaya), atau yg kemudian
dikenal sebagai kosmologi emanasi.
Dari Palembang, San Ali melanjutkan
perjalanan ke Malaka dan banyak bergaul dgn para bangsawan suku Tamil maupun
Malayu. Dari hubungan baiknya itu, membawa San Ali untuk memasuki dunia bisnis
dgn menjadi saudagar emas dan barang kelontong. Pergaulan di dunia bisnis tsb
dimanfaatkan oleh San Ali untuk mempelajari berbagai karakter nafsu manusia,
sekaligus untuk menguji laku zuhudnya ditengah gelimang harta. Selain menjadi
saudagar, Syekh Siti jenar juga menyiarkan agama Islam yg oleh masyarakat
setempat diberi gelar Syekh jabaranta. Di Malaka ini pula, ia bertemu dgn Datuk
Musa, putra Syekh Datuk Ahmad. Dari uwaknya ini, Syekh Datuk Ahmad, San Ali
dianugerahi nama keluarga dan nama ke-ulama-an Syekh Datuk ‘Abdul Jalil.
Pencerahan
Rohani di Baghdad
Setelah mengetahui bahwa dirinya
merupakan salah satu dari keluarga besar ahlul bait (keturunan Rasulullah),
Syekh Siti Jenar semakin memiliki keinginan kuat segera pergi ke Timur Tengah
terutama pusat kota suci Makkah.
Dalam perjalanan ini, dari
pembicaraan mengenai hakikat sufi bersama ulama Malaka asal Baghdad Ahmad
al-Mubasyarah al-Tawalud di sepanjang perjalanan. Syekh Siti Jenar mampu
menyimpan satu perbendaharaan baru, bagi perjalanan rohaninya yaitu “ke-Esaan
af’al Allah”, yakni kesadaran bahwa setiap gerak dan segala peristiwa yg
tergelar di alam semesta ini, baik yg terlihat maupun yg tidak terlihat pada
hakikatnya adalah af’al Allah. Ini menambah semangatnya untuk mengetahui dan
merasakan langsung bagaimana af’al Allah itu optimal bekerja dalam dirinya.
Inilah pangkal pandangan yg
dikemudian hari memunculkan tuduhan dari Dewan Wali, bahwa Syekh Siti Jenar
menganut paham Jabariyah. Padahal bukan itu pemahaman yg dialami dan dirasakan
Syekh Siti Jenar. Bukan pada dimensi perbuatan alam atau manusianya sebagai
tolak titik pandang akan tetapi justru perbuatan Allah melalui iradah dan
quradah-NYA yg bekerja melalui diri manusia, sebagai khalifah-NYA di alam
lahir. Ia juga sampai pada suatu kesadaran bahwa semua yg nampak ada dan
memiliki nama, pada hakikatnya hanya memiliki satu sumber nama, yakni Dia Yang
Wujud dari segala yg maujud.
Sesampainya di Baghdad, ia menumpang
di rumah keluarga besar Ahmad al-Tawalud. Disinilah cakrawala pengetahuan
sufinya diasah tajam. Sebab di keluarga al-Tawalud tersedia banyak kitab-kitab
ma’rifat dari para sufi kenamaan. Semua kitab itu adalah peninggalan kakek
al-Tawalud, Syekh ‘Abdul Mubdi’ al-Baghdadi. Di Irak ini pula, Syekh Siti Jenar
bersentuhan dgn paham Syi’ah Ja’fariyyah, yg di kenal sebagai madzhab ahl
al-bayt.
Syekh Siti Jenar membaca dan
mempelajari dgn Baik tradisi sufi dari al-Thawasinnya al-Hallaj (858-922),
al-Bushtamii (w.874), Kitab al-Shidq-nya al-Kharaj (w.899), Kitab al-Ta’aruf
al-Kalabadzi (w.995), Risalah-nya al-Qusyairi (w.1074), futuhat al-Makkiyah dan
Fushush al-Hikam-nya Ibnu ‘Arabi (1165-1240), Ihya’ Ulum al-Din dan kitab-kitab
tasawuf al-Ghazali (w.1111), dan al-Jili (w.1428). secara kebetulan periode
al-jili meninggal, Syekh Siti Jenar sudah berusia dua tahun. Sehingga saat itu
pemikiran-permikiran al-Jili, merupakan hal yg masih sangat baru bagi komunitas
Islam Indonesia.
Dan sebenarnya Syekh Siti Jenar-lah
yg pertama kali mengusung gagasan al-Hallaj dan terutama al-Jili ke Jawa.
Sementara itu para wali anggota Dewan Wali menyebarluaskan ajaran Islam syar’i
madzhabi yg ketat. Sebagian memang mengajarkan tasawuf, namun tasawuf tarekati,
yg kebanyakkan beralur pada paham Imam Ghazali.
Sayangnya, Syekh Siti Jenar tidak banyak menuliskan ajaran-ajarannya karena
kesibukannya menyebarkan gagasan melalui lisan ke berbagai pelosok Tanah Jawa.
Dalam catatan sastra suluk Jawa hanya ada 3 kitab karya Syekh Siti Jenar;
Talmisan, Musakhaf (al-Mukasysyaf) dan Balal Mubarak. Masyarakat yg dibangunnya
nanti dikenal sebagai komunitas Lemah Abang.
Dari sekian banyak kitab sufi yg
dibaca dan dipahaminya, yg paling berkesan pada Syekh Siti Jenar adalah kitab
Haqiqat al-Haqa’iq, al-Manazil al-Alahiyah dan al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat
al-Awakhiri wa al-Awamil (Manusia Sempurna dalam Pengetahuan tenatang sesuatu
yg pertama dan terakhir). Ketiga kitab tersebut, semuanya adalah puncak dari
ulama sufi Syekh ‘Abdul Karim al-Jili.
Terutama kitab al-Insan al-Kamil, Syekh Siti Jenar kelak sekembalinya ke Jawa menyebarkan ajaran dan pandangan mengenai ilmu sangkan-paran sebagai titik pangkal paham kemanuggalannya. Konsep-konsep pamor, jumbuh dan manunggal dalam teologi-sufi Syekh Siti Jenar dipengaruhi oleh paham-paham puncak mistik al-Hallaj dan al-Jili, disamping itu karena proses pencarian spiritualnya yg memiliki ujung pemahaman yg mirip dgn secara praktis/’amali-al-Hallaj; dan secara filosofis mirip dgn al-Jili dan Ibnu ‘Arabi.
Terutama kitab al-Insan al-Kamil, Syekh Siti Jenar kelak sekembalinya ke Jawa menyebarkan ajaran dan pandangan mengenai ilmu sangkan-paran sebagai titik pangkal paham kemanuggalannya. Konsep-konsep pamor, jumbuh dan manunggal dalam teologi-sufi Syekh Siti Jenar dipengaruhi oleh paham-paham puncak mistik al-Hallaj dan al-Jili, disamping itu karena proses pencarian spiritualnya yg memiliki ujung pemahaman yg mirip dgn secara praktis/’amali-al-Hallaj; dan secara filosofis mirip dgn al-Jili dan Ibnu ‘Arabi.
Syekh Siti Jenar menilai bahwa
ungkapan-ungkapan yg digunakan al-Jili sangat sederhana, lugas, gampang
dipahami namun tetap mendalam. Yg terpenting, memiliki banyak kemiripan dgn
pengalaman rohani yg sudah dilewatkannya, serta yg akan ditempuhnya. Pada
akhirnya nanti, sekembalinya ke Tanah Jawa, pengaruh ketiga kitab itu akan
nampak nyata, dalam berbagai ungkapan mistik, ajaran serta khotbah-khotbahnya,
yg banyak memunculkan guncangan-guncangan keagamaan dan politik di Jawa.
Syekh Siti Jenar banyak meluangkan waktu mengikuti dan mendengarkan konser-konser musik sufi yg digelar diberbagai sama’ khana. Sama’ khana adalah rumah-rumah tempat para sufi mendengarkan musik spiritual dan membiarkan dirinya hanyut dalam ekstase (wajd). Sama’ khana mulai bertumbuhan di Baghdad sejak abad ke-9 (Schimmel; 1986, hlm. 185). Pada masa itu grup musik sufi yg terkenal adalah al-Qawwal dgn penyanyi sufinya ‘Abdul Warid al-Wajd.
Syekh Siti Jenar banyak meluangkan waktu mengikuti dan mendengarkan konser-konser musik sufi yg digelar diberbagai sama’ khana. Sama’ khana adalah rumah-rumah tempat para sufi mendengarkan musik spiritual dan membiarkan dirinya hanyut dalam ekstase (wajd). Sama’ khana mulai bertumbuhan di Baghdad sejak abad ke-9 (Schimmel; 1986, hlm. 185). Pada masa itu grup musik sufi yg terkenal adalah al-Qawwal dgn penyanyi sufinya ‘Abdul Warid al-Wajd.
Berbagai pengalaman spiritual
dilaluinya di Baghdad sampai pada tingkatan fawa’id (memancarnya potensi
pemahaman roh karena hijab yg menyelubunginya telah tersingkap. Dgn ini
seseorang akan menjadi berbeda dgn umumnya manusia); dan lawami’
(mengejawantahnya cahaya rohani akibat tersingkapnya fawa’id), tajaliyat
melalui Roh al-haqq dan zawaid (terlimpahnya cahaya Ilahi ke dalam kalbu yg
membuat seluruh rohaninya tercerahkan). Ia mengalami berbagai kasyf dan
berbagai penyingkapan hijab dari nafsu-nafsunya. Disinilah Syekh Siti Jenar
mendapatkan kenyataan memadukan pengalaman sufi dari kitab-kitab al-Hallaj,
Ibnu ‘Arabi dan al-Jili.
Bahkan setiap kali ia melantunkan
dzikir dikedalaman lubuk hatinya dgn sendirinya ia merasakan denting dzikir dan
menangkap suara dzikir yg berbunyi aneh, Subhani, alhamdu li, la ilaha illa ana
wa ana al-akbar, fa’budni (mahasuci aku, segala puji untukku, tiada tuhan
selain aku, maha besar aku, sembahlah aku). Walaupun telinganya mendengarkan
orang di sekitarnya membaca dzikir Subhana Allah, al-hamduli Allahi, la ilaha
illa Allah, Allahu Akbar, fa’buduhu, namun suara yg di dengar lubuk hatinya
adalah dzikir nafsi, sebagai cerminan hasil man ‘arafa bafsahu faqad ‘arafa
Rabbahu tersebut. Sampai di sini, Syekh Siti Jenar semakin memahami makna
hadist Rasulullah “al-Insan sirri wa ana sirruhu” (Manusia adalah Rahasia-Ku
dan Aku adalah rahasianya).
Sebenarnya inti ajaran Syekh Siti
Jenar sama dgn ajaran sufi ‘Abdul Qadir al-Jilani (w.1165), Ibnu ‘Arabi
(560/1165-638-1240), Ma’ruf al-Karkhi, dan al-Jili. Hanya saja ketiga tokoh tsb
mengalami nasib yg baik dalam artian, ajarannya tidak dipolitisasi, sehingga
dalam kehidupannya di dunia tidak pernah mengalami intimidasi dan kekerasan
sebagai korban politik dan menemui akhir hayat secara biasa.
Dari perenungannya mengenai dunia
nafsu manusia, hal ini membawa Syekh Siti Jenar menuai keberhasilan menaklukkan
tujuh hijab, yg menjadi penghalang utama pendakian rohani seorang salik
(pencari kebenaran).
Tujuh hijab itu adalah lembah kasal (kemalasan naluri dan rohani manusia);
jurang futur (nafsu menelan makhluk/orang lain); gurun malal (sikap mudah
berputus asa dalam menempuh jalan rohani); gurun riya’ (bangga rohani); rimba
sum’ah (pamer rohani); samudera ‘ujub (kesombongan intelektual dan kesombongan
ragawi); dan benteng hajbun (penghalang akal dan nurani).
Ingsun,
Allah dan Kemanunggalan (Syekh Siti Jenar)
1.“Sabda
sukma, adhep idhep Allah, kang anembah Allah, kang sinembah Allah, kang murba
amisesa.”
Pernyataan Syekh Siti Jenar diatas
secara garis besarnya adalah: “Pernyataan roh yg bertemu-hadapan dgn Allah, yg
menyembah Allah, yg disembah Allah, yg meliputi segala sesuatu.”
Ini adalah salah satu sumber
pengetahuan ajaran Syekh Siti Jenar yg maksudnya adalah sukma (roh di kedalaman
jiwa) sebagai pusat kalam (pembicaraan dan ajaran). Hal itu diakibatkan karena
di kedalaman roh batin manusia tersedia cermin yg disebut mir’ah al-haya’
(cermin yg memalukan). Bagi orang yg sudah bisa mengendalikan hawa nafsunya
serta mencapai fana’ cermin tersebut akan muncul, yg menampakkan kediriannya
dengan segala perbuatan tercelanya. Jika ini telah terbuka maka tirai-tirai
Rohani juga akan tersingkap, sehingga kesejatian dirinya beradu-adu (adhep
idhep), “aku ini kau, tapi kau aku”.
Maka jadilah dia yg menyembah
sekaligus yg disembah, sehingga dirinya sebagai kawula-Gusti memiliki wewenang
murba amisesa, memberi keputusan apapun tentang dirinya, menyatu iradah dan
kodrat kawula-Gusti.
2.
“Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera.
Pancaindera ini merupakan barang
pinjaman, yg jika sudah diminta oleh yg empunya, akan menjadi tanah dan
membusuk, hancur lebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat
dipakai sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran,
angan-angan
dan kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan
hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur dan seringkali tidak
jujur. Akal itu pula yg siang malam mengajak dengki, bahkan merusak kebahagiaan
orang lain. Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan,
untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan
citranya. Kalau sudah sampai sedemikian jauhnya, baru orang menyesalkan
perbuatannya.”
Menurut Syekh Siti Jenar, baik pancaindera
maupun perangkat akal tidak dapat dijadikan pegangan dan pedoman hidup. Sebab
semua itu bersifat baru, bukan azali. Satu-satunya yg bisa dijadikan gondhelan
dan gandhulan hanyalah Zat Wajibul Maulanan, Zat Yang Maha Melindungi.
Pancaindera adalah pintu nafsu dan akal adalah pintu bagi ego. Semuanya harus
ditundukkan di bawah Zat Yang Wajib memimpin.
Karena hanya Dialah yg menunjukkan
semua budi baik. Jadi pancaindera harus dibimbing oleh budi dan budi dipimpin
oleh Sang Penguasa Budi atau Yang Maha Budi. Sedangkan Yang Maha Budi itu tidak
terikat dalam jeratan dan jebakan nama tertentu. Sebab nama bukanlah hakikat.
Nama itu bisa Allah, Hyang Widi, Hyang Manon, Sang Wajibul Maulana dan
sebagainya. Semua itu produk akal, sehingga nama tidak perlu disembah. Jebakan
nama dalam syari’at
justru malah merendahkan nama-NYA.
3.“Apakah
tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang, sunsum, bisa rusak dan
bagaimana cara Anda memperbaikinya?
Biarpun bersembahyang seribu kali
setiap harinya akhirnya mati juga. Meskipun badan Anda, Anda tutupi akhirnya
menjadi debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, Apakah para
Wali dapat membawa Pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini
baru. Tuhan tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat
tatanan batu, dalilnya layabtakiru hilamuhdil yg artinya tidak membuat sesuatu
wujud lagi tentang terjadinya alam semesta sesudah dia membuat dunia.”
Dari pernyataan itu nampak Syekh Siti Jenar memandang alam makrokosmos sama dengan mikrokosmos (manusia). Kedua hal tersebut merupakan barang baru ciptaan Tuhan yg sama-sama akan mengalami kerusakan atau tidak kekal.
Dari pernyataan itu nampak Syekh Siti Jenar memandang alam makrokosmos sama dengan mikrokosmos (manusia). Kedua hal tersebut merupakan barang baru ciptaan Tuhan yg sama-sama akan mengalami kerusakan atau tidak kekal.
Pada sisi lain, pernyataan Syekh
Siti Jenar tsb mempunyai muatan makna pernyataan sufistik, “Barangsiapa
mengenal dirinya, maka ia pasti mengenal Tuhannya.” Sebab bagi Syekh Siti Jenar
manusia yg utuh dalam jiwa raganya merupakan wadag bagi penyanda, termasuk
penyanda alam semesta. Itulah sebabnya pengelolaan alam semesta menjadi
tanggungjawab manusia.
Maka mikrokosmos manusia, tidak lain
adalah Blueprint dan gambaran adanya jagat besar termasuk semesta.
Baginya Manusia terdiri dari jiwa dan raga yg intinya ialah jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan (Sang Pribadi). Sedangkan raga adalah bentuk luar dari jiwa yg dilengkapi pancaindera, berbagai organ tubuh seperti daging, otot, darah dan tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan adalah barang pinjaman yg suatu saat setelah manusia terlepas dari pengalaman kematian di dunia ini, akan kembali berubah menjadi tanah. Sedangkan rohnya yg menjadi tajalli Ilahi, manunggal ke dalam keabadian dengan Allah.
Baginya Manusia terdiri dari jiwa dan raga yg intinya ialah jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan (Sang Pribadi). Sedangkan raga adalah bentuk luar dari jiwa yg dilengkapi pancaindera, berbagai organ tubuh seperti daging, otot, darah dan tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan adalah barang pinjaman yg suatu saat setelah manusia terlepas dari pengalaman kematian di dunia ini, akan kembali berubah menjadi tanah. Sedangkan rohnya yg menjadi tajalli Ilahi, manunggal ke dalam keabadian dengan Allah.
4.
“Segala sesuatu yg terjadi di alam semesta ini pada hakikatnya adalah af’al
(perbuatan) Allah.
Berbagai hal yg dinilai baik maupun
buruk pada hakikatnya adalah dari Allah juga. Jadi keliru dan sesat pandangan
yg mengatakan bahwa yg baik dari Allah dan yg buruk dari selain Allah.” “…Af’al
Allah harus dipahami dari dalam dan dari luar diri. Saat manusia menggoreskan
pena misalnya, di situ lah terjadi perpaduan dua kemampuan kodrati yg
dipancarkan oleh Allah kepada makhluk-NYA, yakni kemampuan kodrati gerak pena.
Di situlah berlaku dalil “Wa Allahu khalaqakum wa ma ta’malun (Qs.Ash-Shaffat:96)”,
yg maknanya Allah yg menciptakan engkau dan segala apa yg engkau perbuat. Di
sini terkandung makna mubasyarah. Perbuatan yg terlahir dari itu disebut
al-tawallud. Misalnya saya melempar batu. Batu yg terlempar dari tangan saya
itu adalah berdasarkan kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ berlaku
dalil “Wa ma ramaita idz ramaita walakinna Allaha rama (Qs.Al-Anfal:17)”,
maksudnya bukanlah engkau yg melempar, melainkan Allah jua yg melempar ketika
engkau melempar. Namun pada hakikatnya antara mubasyarah dan al-tawallud
hakikatnya satu, yakni af’al Allah sehingga berlaku dalil la haula wa la
quwwata illa bi Allahi al-‘aliyi al-‘adzimi. Rosulullah bersabda “La
tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi”, yg maksudnya tidak akan bergerak satu
dzarah pun melainkan atas idzin Allah.”
Eksistensi manusia yg manunggal ini
akan nampak lebih jelas peranannya, dimana manusia tidak lain adalah ke-Esa-an
dalam af’al Allah. Tentu ke-Esa-an bukan sekedar af’al, sebab af’al digerakkan
oleh dzat. Sehingga af’al yg menyatu menunjukkan adanya ke-Esa-an dzat, kemana
af’al itu dipancarkan.
5.
“Di dunia ini kita merupakan mayat-mayat yg cepat juga akan menjadi busuk dan
bercampur tanah.
Ketahuilah juga apa yg dinamakan
kawula-Gusti tidak berkaitan dgn seorang manusia biasa seperti yg lain-lain.
Kawula dan Gusti itu sudah ada dalam diriku, siang dan malam tidak dapat
memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya untuk saat ini nama kawula-Gusti
itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, Gusti
dan kawula lenyap, yg tinggal hanya hidupku sendiri, ketentraman langgeng dalam
ADA sendiri. Bila kau belum menyadari kebenaran kata-kataku maka dgn tepat
dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang
terdapat banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yg menimbulkan
hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera. Itu
hanya impian yg sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan
cepat lenyap. Gilalah orang yg terikat padanya. Saya tidak merasa tertarik, tak
sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yg kuusahakan, ialah
kembali kepada kehidupan.”
Syekh Siti Jenar menyatakan dgn
tegas bahwa dirinya sebagaiTuhan, ia memiliki hidup dan Ada dalam dirinya
sendiri, serta menjadi Pangeran bagi seluruh isi dunia. Sehingga didapatkan
konsistensi antara keyakinan hati, pengalaman keagamaan, dan sikap perilaku
dzahirnya. Juga ditekankan satu hal yg selalu tampil dalam setiap ajaran Syekh
Siti Jenar. Yakni pendapat bahwa manusia selama masih berada di dunia ini
sebetulnya mati, baru sesudah ia dibebaskan dari dunia ini, akan dialami
kehidupan sejati. Kehidupan ini sebenarnya kematian ketika manusia dilahirkan.
Badan hanya sesosok mayat karena ditakdirkan untuk sirna. (bandingkan dengan
Zoetmulder; 364). Dunia ini adalah alam kubur, dimana roh suci terjerat badan
wadag yg dipenuhi oleh berbagai goda-nikmat
yg menguburkan kebenaran sejati dan berusaha menguburkan kesadaran Ingsun
Sejati.
SURGA
DAN NERAKA Syekh Siti Jenar
“anal jannatu wa nara katannalr
al anna”, sering digunakan oleh Syekh Siti
Jenar dalam menjelaskan hakikat surga dan neraka. Penulisan yg benar nampaknya
adalah “inna al-janatu wa al-naru qath’un ‘an al-ana” (Sesungguhnya keberadaan
surga dan neraka itu telah nyata adanya sejak sekarang atau di dunia ini).
Sesungguhnya, menurut ajaran Islam
pun, surga dan neraka itu tidaklah kekal. Yang menganggap kekal surga dan
neraka itu adalah kalangan awam. Sesungguhnya mereka berdua wajib rusak dan
binasa.
Bagi Syekh Siti Jenar, surga atau
neraka bukanlah tempat tertentu untuk memberikan pembalasan baik dan buruknya
manusia. Surga neraka adalah perasaan roh di dunia, sebagai akibat dari keadaan
dirinya yg belum dapat menyatu-tunggal dgn Allah. Sebab bagi manusia yg sudah
memiliki ilmu kasampurnan, jelas bahwa ketika mengalami kematian dan melalui
pintunya, ia kembali kepada Hidup Yang Agung, hidup yang tan kena kinaya ngapa
(hidup sempurna abadi sebagai Sang Hidup). Yaitu sebagai puncak cita-cita dan
tujuan manusia.
Jadi, karena surga dan neraka itu
ternyata juga makhluk, maka surga dan neraka tidaklah kekal, dan juga bukanlah
tempat kembalinya manusia yang sesungguhnya. Sebab tidak mungkin makhluk akan
kembali kepada makhluk, kecuali karena keadaan yang belum sempurna hidupnya. Oleh
al-Qur’an sudah ditegaskan bahwa tempat kembalinya manusia hanya Allah, yang
tidak lain adalah proses kemanunggalan ……ilaihi raji’un, ilaihi al-mashir………
PUASA
dan HAJI Syekh Siti Jenar
“Syahadat,
shalat dan puasa itu, sesuatu yang tidak diinginkan, jadi tidak perlu. Adapun
zakat dan naik haji ke Makah, itu semua omong kosong (palson kabeh). Itu seluruhnya
kedurjanaan budi, penipuan terhadap sesama manusia. Orang-orang dungu yg
menuruti aulia, karena diberi harapan surga di kelak kemudian hari, itu
sesungguhnya keduanya orang yang tidak tahu. Lain halnya dengan saya, Siti
Jenar.”
“Tiada pernah saya menuruti perintah
budi, bersujud-sujud di mesjid mengenakan jubah, pahalanya besok saja, bila
dahi sudah menjadi tebal, kepala berbelulang. Sesungguhnya hal ini idak masuk
akal! Di dunia ini semua manusia adalah sama. Mereka semua mengalami suka-duka,
menderita sakit dan duka nestapa, tiada beda satu dengan yang lain. Oleh karena
itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada satu hal saja, yaitu Gusti Zat Maulana.”
Syekh Siti jenar menyebutkan bahwa
syariat yang diajarkan para wali adalah “omong kosong belaka”, atau “wes palson
kabeh”(sudah tidak ada yang asli). Tentu istilah ini sangat amat berbeda dengan
anggapan orang selama ini, yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar menolak
syari’at Islam. Yang ditolak adalah reduksi atas syari’at tersebut. Syekh Siti
Jenar menggunakan istilah “iku wes palson kabeh”, yg artinya “itu sudah
dipalsukan atau dibuat palsu semua.” Tentu ini berbeda pengertiannya dengan
kata “iku palsu kabeh” atau “itu palsu semua.”
Jadi yang dikehendaki Syekh Siti
Jenar adalah penekanan bahwa syari’at Islam pada masa Walisanga telah mengalami
perubahan dan pergeseran makna dalam pengertian syari’at itu. Semuanya hanya
menjadi formalitas belaka. Sehingga manfaat melaksanakan syariat menjadi
hilang. Bahkan menjadi mudharat karena pertentangan yang muncul dari aplikasi
formal syariat tsb.
Bagi Syekh Siti Jenar, syariat bukan
hanya pengakuan dan pelaksanaan, namun berupa penyaksian atau kesaksian. Ini
berarti dalam pelaksanaan syariat harus ada unsur pengalaman spiritual. Nah,
bila suatu ibadah telah menjadi palsu, tidak dapat dipegangi dan hanya untuk
membohongi orang lain, maka semuanya merupakan keburukan di bumi.
Apalagi sudah tidak menjadi sarana
bagi kesejahteraan hidup manusia. Ditambah lagi, justru syariat hanya menjadi
alat legitimasi kekuasaan (seperti sekarang ini juga). Yang mengajarkan
syari’at juga tidak lagi memahami makna dan manfaat syari’at itu, dan tidak
memiliki kemampuan mengajarkan aplikasi syari’at yg hidup dan berdaya guna.
Sehingga syari’at menjadi hampa makna dan menambah gersangnya kehidupan rohani
manusia.
Nah, yg dikritik Syekh Siti Jenar
adalah shalat yg sudah kehilangan makna dan tujuannya itu. Shalat haruslah
merupakan praktek nyata bagi kehidupan. Yakni shalat sebagai bentuk ibadah yg
sesuai dgn bentuk profesi kehidupannya. Orang yg melakukan profesinya secara
benar, karena Allah, maka hakikatnya ia telah melaksanakan shalat sejati,
shalat yg sebenarnya. Orientasi kepada yang Maha Benar dan selalu berupaya
mewujudkan Manunggaling Kawula Gusti, termasuk dalam karya, karsa-cipta itulah
shalat yg sesungguhnya.
Makna
Ihsan
“Itulah yang dianggap Syekh Siti
Jenar Hyang Widi. Ia berbuat baik dan menyembah atas kehendak-NYA. Tekad
lahiriahnya dihapus. Tingkah lakunya mirip dengan pendapat yg ia lahirkan. Ia
berketetapan hati untuk berkiblat dan setia, teguh dalam pendiriannya, kukuh
menyucikan diri dari segala yg kotor, untuk sampai menemui ajalnya tidak
menyembah kepada budi dan cipta. Syekh Siti Jenar berpendapat dan menggangap
dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat rasul yg sejati, sifat Muhammad yg
kudus.”
“Gusti Zat Maulana. Dialah yg luhur
dan sangat sakti, yg berkuasa maha besar, lagipula memiliki dua puluh sifat,
kuasa atas kehendak-NYA. Dialah yg maha kuasa, pangkal mula segala ilmu, maha
mulia, maha indah, maha sempurna, maha kuasa, rupa warna-NYA tanpa cacat
seperti hamba-NYA. Di dalam raga manusia Ia tiada nampak. Ia sangat sakti
menguasai segala yg terjadi dan menjelajahi seluruh alam semesta, Ngidraloka”.
Dua kutipan di atas adalah aplikasi
dari teologi Ihsan menurut Syekh Siti Jenar, bahwa sifatullah merupakan
sifatun-nafs. Ihsan sebagaimana ditegaskan oleh Nabi dalam salah satu hadistnya
(Sahih Bukhari, I;6), beribadah karena Allah dgn kondisi si ‘Abid dalam keadaan
menyaksikan (melihat langsung) langsung adanya si Ma’bud. Hanya sikap inilah yg
akan mampu membentuk kepribadian yg kokoh-kuat, istiqamah, sabar dan tidak
mudah menyerah dalam menyerukan kebenaran.
Sebab Syekh Siti Jenar merasa, hanya
Sang Wujud yg mendapatkan haq untuk dilayani, bukan selain-NYA. Sehingga, dgn
kata lain, Ihsan dalam aplikasinya atas pernyataan Rasulullah adalah membumikan
sifatullah dan sifatu-Muhammad menjadi sifat pribadi.
Dengan memiliki sifat Muhammad itulah, ia akan mampu berdiri kokoh menyerukan ajarannya dan memaklumkan pengalamannya dalam “menyaksikan langsung” ada-NYA Allah. “Persaksian langsung” itulah terjadi dalam proses manunggal.
Dengan memiliki sifat Muhammad itulah, ia akan mampu berdiri kokoh menyerukan ajarannya dan memaklumkan pengalamannya dalam “menyaksikan langsung” ada-NYA Allah. “Persaksian langsung” itulah terjadi dalam proses manunggal.
“Hyang Widi, wujud yg tak nampak
oleh mata, mirip dengan ia sendiri, sifat-sifatnya mempunyai wujud, seperti
penampakan raga yg tiada tampak. Warnanya melambangkan keselamatan, tetapi
tanpa cahaya atau teja, halus, lurus terus-menerus, menggambarkan kenyataan
tiada berdusta, ibaratnya kekal tiada bermula, sifat dahulu yg meniadakan
permulaan, karena asal dari diri pribadi.”
Ihsan berasal dari kondisi hati yg
bersih. Dan hati yg bersih adalah pangkal serta cermin seluruh eksistensi
manusia di bumi. Keihsanan melahirkan ketegasan sikap dan menentang ketundukan
membabi-buta kepada makhluk. Ukuran ketundukan hati adalah Allah atau Sang
Pribadi. Oelh karena itu, sesama manusia dan makhluk saling memiliki
kemerdekaan dan kebebasan diri. Dan kebebasan serta kemerdekaan itu sifatnya
pasti membawa kepada kemajuan dan peradaban manusia, serta tatanan masyarakat
yg baik, sebab diletakkan atas landasan Ke-Ilahian manusia. Penjajahan atas
eksistensi manusia lain hakikatnya adalah bentuk dari ketidaktahuan manusia
akan Hyang Widhi…Allah (seperti Rosul sering sekali mengatakan bahwa
“Sesungguhnya mereka tidak mengerti”).
Karena buta terhadap Allah Yang Maha
Hadir bagi manusia itulah, maka manusia sering membabi-buta merampas
kemanusiaan orang lain. Dan hal ini sangat ditentang oleh Syekh Siti Jenar.
Termasuk upaya sakralisasi kekuasaan Kerajaan Demak dan Sultannya, bagi Syekh
Siti Jenar harus ditentang, sebab akan menjadi akibat tergerusnya ke-Ilahian ke
dalam kedzaliman manusia yang mengatasnamakan hamba Allah yg shalih dan
mengatasnamakan demi penegakan syari’at Islam.
Pribadi adalah pancara roh, sebagai
tajalli atau pengejawantahan Tuhan. Dan itu hanya terwujud dengan proses wujudiyah,
Manuggaling Kawula-Gusti, sebagai puncak dan substansi tauhid.
Maka manusia merupakan wujud dari sifat dan dzat Hyang Widi itu sendiri. Dengan
manusia yg manunggal itulah maka akan menjadikan keselamatan yg nyata bukan
keselamatan dan ketentraman atau kesejahteraan yg dibuat oleh rekayasa manusia,
berdasarkan ukurannya sendiri. Namun keselamatan itu adalah efek bagi
terejawantah-NYA Allah melalui kehadiran manusia.
Sehingga proses terjadinya
keselamatan dan kesejahteraan manusia berlangsung secara natural (sunnatullah),
bukan karena hasil sublimasi manusia, baik melalui kebijakan ekonomi, politik,
rekayasa sosial dan semacamnya sebagaimana selama ini terjadi.
Maka dapat diketahui bahwa teologi
Manuggaling Kawula Gusti adalah teologi bumi yg lahir dengan sendirinya sebagai
sunnatullah. Sehingga ketika manusia mengaplikasikannya, akan menghasilkan
manfaat yg natural juga dan tentu pelecehan serta perbudakan kemanusiaan tidak
akan terjadi, sifat merasa ingin menguasai, sifat ingin mencari kekuasaan,
memperebutkan sesama manusia tidak akan terjadi. Dan tentu saja pertentangan
antar manusia sebagai akibat perbedaan paham keagamaan, perbedaan agama dan
sejenisnya juga pasti tidak akan terjadi.
Tafsir
Kisah Musa dan Khidir (Syekh Siti Jenar)
“Sesungguhnya, Khidir AS bukanlah
sosok lain yg terpisah sama sekali dari keberadaan manusia rohani. Apa yg
disaksikan sebagai tanah menjorok dgn lautan di sebelah kanan dan kiri itu
bukanlah suatu tempat yg berada di luar diri manusia. Tanah itulah yg disebut
perbatasan (barzakh). Dua lautan itu adalah Lautan Makna (bahr al-ma’na),
perlambang alam tidak kasatmata (‘alam al-ghaib) dan lautan Jisim (bahr
al-ajsam), perlambang alam kasatmata (‘alam asy-syahadat).”
“Sedangkan kawanan udang adalah
perlambang para pencari Kebenaran yg sudah berenang di perbatasan alam
kasatmata san alam tidak kasatmata. Kawanan udang perlambang para penempuh
jalan rohani (salik) yg benar-benar bertujuan mencari Kebenaran. Sementara itu,
kawanan udang yg berenang di lautan sebelah kiri, di antara batu-batu,
merupakan perlambang para salik yg penuh diliputi hasrat-hasrat dan
pamrih-pamrih duniawi.”
“Sesungguhnya, peristiwa yg dialami
Nabi Musa AS dgn Khidir AS, sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur’an Al-Karim,
bukanlah hanya peristiwa sejarah seorang manusia bertemu manusia lain. Ia
adalah peristiwa perjalanan rohani yg berlangsung di dalam diri Nabi Musa AS
sendiri. Sebagaimana yg telah saya jelaskan, yg disebut dua lautan di dalam
Al-Qur’an tidak lain dan tidak bukan adalah Lautan Makna (bahr al-ma’na) dan
Lautan Jisim (bahr al-ajsam). Kedua lautan itu dipisahkan oleh wilayah
perbatasan atau sekat (barzakh).”
“Ikan dan lautan dalam kisah Qur’ani
itu merupakan perlambang dunia kasatmata (‘alam asy-syahadat) yg berbeda dengan
wilayah perbatasan yg berdampingan dgn dunia gaib (‘alam al-ghaib). Maksudnya,
jika saat itu Nabi Musa AS melihat ikan dan kehidupan yg melingkupi ikan
tersebut dari tempatnya berdiri, yaitu di wilayah perbatasan antara dua lautan,
maka Nabi Musa AS akan melihat sang ikan berenang di dalalm alamnya, yaiu
lautan. Jika saat itu Nabi Musa AS mencermati maka ia akan dapat menyaksikan
bahwa sang ikan yg berenang itu dapat melihat segala sesuatu di dalam lautan, kecuali
air (dilambangkan manusia juga sama). Maknanya, sang ikan hidup di dalam air
dan sekaligus di dalam tubuh ikan ada air, tetapi ia tidak bisa melihat iar dan
tidak sadar jika dirinya hidup di dalam air. Itulah sebabnya, ikan tidak dapat
hidup tanpa air yg meliputi bagian luar dan bagian dalam tubuhnya. Di mana pun
ikan berada, ia akan selalu diliputi air yg tak bisa dilihatnya.”
“Sementara itu, seandainya sang ikan
di dalam lautan melihat Nabi Musa AS dari tempat hidupnya di dalam air lautan
maka sang ikan akan berkata bahwa Musa AS di dalam dunia-yang diliputi udara
kosong-dapat menyaksikan segala sesuatu, kecuali udara kosong yg meliputinya
itu. Maknanya, Nabi Musa AS hidup di dalam liputan udara kosong yg ada di luar
maupun di dalam tubuhnya, tetapi ia tidak bisa melihat udara kosong dan tidak
sadar jika dirinya hidup di dalam udara kosong. Itu sebabnya, Nabi Musa AS
tidak dapat hidup tanpa udara kosong yg meliputi bagian luar dan dalam
tubuhnya. Di mana pun Nabi Musa AS berada, ia akan selalu diliputi udara kosong
yg tidak bisa dilihatnya.”
“Sesungguhnya, pemuda (al-fata) yg
mendampingi Nabi Musa AS dan membawakan bekal makanan adalah perlambang dari
terbukanya pintu alam tidak kasatmata. Sesungguhnya, dibalik keberadaan pemuda
(al-fata) itu tersembunyi hakikat sang Pembuka (al-Fattah). Sebab, hijab gaib
yg menyelubungi manusia dari Kebenaran sejati tidak akan bisa dibuka tanpa
kehendak Dia, sang Pembuka (al-Fattah). Itu sebabnya, saat Nabi Musa AS bertemu
dgn Khidir AS, pemuda (al-fata) itu disebut-sebut lagi karena ia sejatinya
merupakan perlambang keterbukaan hijab ghaib.”
“Adapun bekal makanan yg berupa ikan
adalah perlambang pahala perbuatan baik (al-‘amal ash-shalih) yg hanya berguna
untuk bekal menuju ke Taman Surgawi (al-jannah). Namun, bagi pencari Kebenaran
sejati, pahala perbuatan baik itu justru mempertebal gumpalan kabut penutup
hati (ghain). Itu sebabnya, sang pemuda mengaku dibuat lupa oleh setan hingga
ikan bekalnya masuk ke dalam lautan.”
“Andaikata saat itu Nabi Musa AS
memerintahkan si pemuda untuk mencari bekal yg lain, apalagi sampai memburu
bekal ikan yg telah masuk ke dalam laut, niscaya Nabi Musa AS dan si pemuda
tentu akan masuk ke Lautan Jisim (bahr al-ajsam) kembali. Dan, jika itu terjadi
maka setan berhasil memperdaya Nabi Musa AS.”
“Ternyata, Nabi Musa AS tidak peduli
dgn bekal itu. Ia justru menyatakan bahwa tempat di mana ikan itu melompat ke
lautan adalah tempat yg dicarinya sehingga tersingkaplah gumpalan kabut ghain
dari kesadaran Nabi Musa AS. Saat itulah purnama rohani zawa’id berkilau dan
Nabi Musa AS dapat melihat Khidir AS, hamba yg dilimpahi rahmat dan kasih
sayang (rahmah al-khashshah) yg memancar dari citra ar-Rahman dan ar-Rahim dan
Ilmu Ilahi (ilm ladunni) yg memancar dari Sang Pengetahuan (al-Alim).”
“Anugerah Ilahi dilimpahkan kepada
Khidir AS karena dia merupakan hamba-NYA yg telah mereguk Air Kehidupan (ma’
al-hayat) yg memancar dari Sang Hidup (al-Hayy). Itu sebabnya, barang siapa di
antara manusia yg berhasil bertemu Khidir AS di tengah wilayah perbatasan antara
dua lautan, sesungguhnya manusia itu telah menyaksikan pengejawantahan Sang
Hidup (al-Hayy), Sang Penyayang (ar-Rahim). Dan, sesungguhnya Khidir AS itu
tidak lain dan idak bukan adalah ar-roh al-idhafi, cahaya hijau terang yg
tersembunyi di dalam diri manusia, “Sang Penuntun” anak keturunan Adam AS ke
jalan Kebenaran Sejati. Dialah penuntun dan penunjuk (mursyid) sejati ke jalan
Kebenaran (al-Haqq). Dia sang mursyid adalah pengejawantahan yang Maha
Menunjuki (as –Rasyid).”
“Demikianlah, saat sang salik
melihat Khidir AS sesungguhnya ia telah menyaksikan ar-roh al-idhafi, mursyid
sejati di dalam diri manusia sendiri. Saat ia menyaksikan kawanan udang di
lautan sebelah kanan, sesungguhnya ia telah menyaksikan Lautan Makna
(bahr-al-ma’na) yg merupakan hamparan permukaan Lautan Wujud (bahr al-wujud).
Namun, jika terputus penglihatan batiin (bashirab) itu pada titik ini, berarti
perjalanan menusia itu menuju ke Kebenaran Sejati masih akan berlanjut.”
Sesungguhnya, perjalanan rohani menuju Kebenaran Sejati penuh diliputi tanda kebesaran Ilahi yg hanya bisa diungkapkan dalam bahasa perlambang. Sesungguhnya, masing-masing menusia akan mengalami pengalaman rohani yg berbeda sesuai pemahamannya dalam menangkap kebenaran demi kebenaran. Yang jelas, pengalaman yg akan manusia alami tidak selalu mirip dgn pengalaman yg dialami Nabi Musa AS.”
Sesungguhnya, perjalanan rohani menuju Kebenaran Sejati penuh diliputi tanda kebesaran Ilahi yg hanya bisa diungkapkan dalam bahasa perlambang. Sesungguhnya, masing-masing menusia akan mengalami pengalaman rohani yg berbeda sesuai pemahamannya dalam menangkap kebenaran demi kebenaran. Yang jelas, pengalaman yg akan manusia alami tidak selalu mirip dgn pengalaman yg dialami Nabi Musa AS.”
“Setelah berada di wilayah
perbatasan, Khidir AS dan Nabi Musa AS digambarkan melanjutkan perjalanan
memasuki Lautan Makna, yaitu alam tidak kasatmata. Mereka kemudian digambarkan
menumpang perahu. Sesungguhnya, perahu yg mereka gunakan untuk menyeberang itu
adalah perlambang dari wahana (syari’ah) yg lazimnya digunakan oleh kalangan
awam untuk mencari ikan, yakni perlambang perbuatan baik (al ‘amal ash-shalih).
Padahal, perjalanan mengarungi Lautan Makna menuju Kebenaran Sejati adalah
perjalanan yg sangat pribadi menuju Lautan Wujud. Itulah sebabnya, perahu
(syari’ah) itu harus dilubangi agar air dari Lautan Makna masuk ke dalam perahu
dan penumpang perahu mengenal hakikat air yg mengalir dari lubang tersebut.”
“Setelah penumpang perahu mengenal
air yg mengalir dari lubang maka ia akan menjadi sadar bahwa lewat lubang
itulah sesungguhnya ia akan bisa masuk ke dalam Lautan Makna yg merupakan
permukaan Lautan Wujud. Andaikata perahu itu tidak dilubangi, dan kemudian
perahu diteruskan berlayar, maka perahu itu tentu akan dirampas oleh Sang Maha
Raja (malik al-Mulki) sehingga penumpangnya akan menjadi tawanan. Jika sudah
demikian, maka untuk selamanya sang penumpang perahu tidak bisa melanjutkan
perjalanan menuju Dia, Yang Maha Ada (al-Wujud), yg bersemayam di segenap
penjuru hamparan Lautan Wujud. Penumpang perahu itu mengalami nasib seperti
penumpang perahu yg lain, yakni akan dijadikan hamba sahaya oleh Sang Maha
Raja. Bahkan, jika Sang Maha Raja menyukai hamba sahaya-NYA itu maka ia akan
diangkat sebagai penghuni Taman (jannah) indah yg merupakan pengejawantahan
Yang Maha Indah (al Jamal).”
“Adapun Atas Pernyataan kenapa
wahana (syariah) harus dilubangi dan tidak lagi digunakan dalam perjalanan
menembus alam ghaib manuju Dia? Dapat dijelaskan sebagai berikut.”
“Sebab, wahana adalah kendaraan bagi
manusia yg hidup di alam kasatmata untuk pedoman menuju ke Taman Surgawi.
Sedangkan alam tidak kasatmata adalah alam yg tidak jelas batas-batasnya. Alam
yg tidak bisa dinalar karena segala kekuatan akal manusia mengikat itu tidak
bisa berijtihad untuk menetapkan hukum yg berlaku di alam gaib. Itu sebabnya,
Khidir AS melarang Nabi Musa AS bertanya sesuatu dgn akalnya dalam perjalanan
tersebut. Dan, apa yg disaksikan Nabi Musa AS terdapat perbuatan yg dilakukan
Khidir AS benar-benar bertentangan dgn hukum suci (syari’at) dan akal sehat yg
berlaku di dunia, yakni melubangi perahu tanpa alasan, membunuh seorang anak
kecil tak bersalah dan menegakkan tembok runtuh tanpa upah.”
“Namun jika wahana (syari’ah) tidak
lagi bisa dijadikan petunjuk, sebenarnya pedomannya tetaplah sama, yaitu
Kitabullah dan Sunnah Rasul. Tetapi pemahamannya bukan dgn akal (‘aql)
melainkan dgn dzauq, yaitu cita rasa rohani. Inilah yg disebut cara (thariqah).
Di sini, sang salik selain harus berjuang keras juga harus pasrah kepada
kehendak-NYA. Sebab, telah termaktub dalam dalil araftu rabbi bi rabbi bahwa
kita hanya mengenal Dia dgn Dia. Maksudnya jika Tuhan tidak berkehendak kita
mengenal-NYA maka kita pun tidak akan bisa mengenal-NYA. Dan, kita mengenal-NYA
pun maka hanya melalui Dia (walaupun kita tidak mau tetapi semua telah
kehendak-NYA). Itu sebabnya, di alam tidak kasatmata yg tidak jelas batas dan
tanda-tandanya itu kita tidak dapat berbuat sesuatu kecuali pasrah seutuhnya
dan mengharap limpahan rahmat dan hidayah-NYA.”
“Tentang makna di balik kisah Khidir
AS membunuh seorang anak (ghulam) dapat saya jelaskan sebagai berikut.”
“Anak adalah perlambang keakuan kerdil yg kekanak-kanakan. Kedewasaan rohani seorang yg teguh imannya bisa runtuh akibat terseret cinta kepada keakuan kerdil yg kekanak-kanakan tersebut. Itu sebabnya, keakuan kerdil y kekanak-kanakan itu harus dibunuh agar kedewasaan rohani tidak terganggu.”
“Anak adalah perlambang keakuan kerdil yg kekanak-kanakan. Kedewasaan rohani seorang yg teguh imannya bisa runtuh akibat terseret cinta kepada keakuan kerdil yg kekanak-kanakan tersebut. Itu sebabnya, keakuan kerdil y kekanak-kanakan itu harus dibunuh agar kedewasaan rohani tidak terganggu.”
“Sesungguhnya, di dalam perjalanan
rohani menuju Kebenaran Sejati selalu terjadi keadaan di mana keakuan kerdil yg
kekank-kanakan (ghulam) dari salik cenderung mengikari kehambaan dirinya
terhadap Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad) sebagai akibat ia belum fana ke
dalam Sang Rasul (fana fi rasul). Ghulam cenderung durhaka dan ingkar terhadap
kehambaan kepada Sang Rasul. Jika keakuan yg kerdil dan kekanak-kanakan itu
dibunuh maka akan lahir ghulam yg lebih baik dan lebih diberbakti yg melihat
dengan mata batin bahwa dia sesungguhnya adalah “hamba” dari Sang Rasul,
pengejawantahan Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad).”
“Sesungguhnya, keakuan kerdil yg
kekanak-kanakan adalah perlambang dari keberadaan nafsu manusia yg cenderung
durhaka dan ingkar terhadap Sumbernya. Sedangkan ghulam yg baik dan berbakti
merupakan perlambang dari keberadaan roh manusia yg cenderung setia dan
berbakti kepada Sumbernya. Dan sesungguhnya, perbuatan Khidir AS itu adalah
perlambang yg sama saat Nabi Ibrahim AS akan menyembelih Nabi Ismail AS
‘Pembuhunan’ itu adalah perlambang puncak dari keimanan mereka yg beriman
(mu’min).”
“Adapun dinding yg ditinggikan
Khidir AS adalah perlambang Sekat Tertinggi (al barzakh al ‘a’la) yg disebut
juga dgn Hijab Yang Maha Pemurah (hajib ar-Rahman). Dinding itu adalah
pengejawantahan Yang Maha Luhur (al-Jalil). Lantaran itu, dinding tersebut
dinamakan Dinding al-Jalal (al jidar al-Jalal), yg dibawahnya tersimpan
Khazanah Perbendaharaan (Tahta al-Kanz) yg ingin diketahui.”
“Sedangkan dua anak yatim
(ghulamaini yatimaini) pewaris dinding itu adalah perlambang jati diri Nabi
Musa AS, yg keberadaannya terbentuk atas jasad ragwi (al-basyar) dan rohani
(roh). Kegandaan jati diri manusia itu baru tersingkap jika seseorang sudah
berada dalam keadaan tidak memiliki apa-apa (muflis), terkucil sendiri (mufrad)
dan telah berada di dalam waktu tak berwaktu (ibn al-waqt). Dua anak yatim itu
adalah perlambang gambaran Nabi Musa AS dan bayangannya di depan Cermin
Memalukan (al-mir’ah al-haya’I).”
“Adapun gambaran tentang ‘ayah yg salih’ dari kedua anak yatim, yakni ayah yg mewariskan Khazanah Perbendaharaan , adalah perlambang diri dari Abu halih, Sang Pembuka Hikmah (al-hikmah al-futuhiyyah), yakni pengejawantahan Sang Pembuka. Dengan demikian apa yg telah dialami Nabi Musa AS dalam perjalanan bersama Khidir AS (QS. Al-Kahfi : 60-82) menurut penafsiran adalah perjalanan rohani Nabi Musa AS ke dalam dirinya sendiri yg penuh dgn perlambang (isyarat).”
“Adapun gambaran tentang ‘ayah yg salih’ dari kedua anak yatim, yakni ayah yg mewariskan Khazanah Perbendaharaan , adalah perlambang diri dari Abu halih, Sang Pembuka Hikmah (al-hikmah al-futuhiyyah), yakni pengejawantahan Sang Pembuka. Dengan demikian apa yg telah dialami Nabi Musa AS dalam perjalanan bersama Khidir AS (QS. Al-Kahfi : 60-82) menurut penafsiran adalah perjalanan rohani Nabi Musa AS ke dalam dirinya sendiri yg penuh dgn perlambang (isyarat).”
“Memang Nabi Musa AS lahir hanya
satu. Namun, keberadaan jati dirinya sesungguhnya adalah dua, yaitu pertama
keberadaan sebagai al-basyar ‘anak’ Adam AS yg berasal dari anasir tanah yg
tercipta; dan keberadaannya sebagai roh ‘anak’ Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad)
yg berasal dari tiupan (nafakhtu) Cahaya di Atas Cahaya (Nurun ‘ala Nurin).
Maksudnya, sebagai al-basyar, keberadaan jasad ragawi nabi Musa AS berasal dari
Yang Mencipta (al-Kha-liq).”
“Sehingga tidak akan pernah terjadi
perseteruan dalam memperebutkan Khazanah Perbendaharaan warisan ayahnya yg
shalih. Sebab, saat keduanya berdiri berhadap-hadapan di depan Dinding al-jalal
(al-jidar al-Jalal) dan mendapati dinding itu runtuh maka saat itu yg ada hanya
satu anak yatim. Maksudnya, saat itu keberadaan al-basyar ‘anak’ Adam AS akan
terserap ke dalam roh ‘anak’ Nur Muhammad. Saat itulah sang anak sadar bahwa ia
sejatinya berasal dari Cahaya di Atas cahaya (Nurun ‘ala Nurin) yg merupakan
pancaran dari Khazanah Perbendaharaan. Sesungguhnya, hal semacam itu tidak bisa
diuraikan dgn kaidah-kaidah nalar manusia karena akan membawa kesesatan. Jadi,
harus dijalani dan dialami sendiri sebagai sebuah pengalaman pribadi.”
Penjelasan
tentang konsep Shiratal Mustaqim (Syekh Siti Jenar)
“Saya hanya memberi sebuah petunjuk
yg bisa digunakan untuk meniti jembatan (shirath) ajaib ke arah-NYA. Saya
katakan ajaib karena jembatan itu bisa menjauhkan sekaligus mendekatkan jarak
mereka yg meniti dgn tujuan yg hendak dicapai.”
“Sebagaimana kisah Nabi Musa AS
dalam perjalanan mencari Khidir AS, jembatan itu memiliki empat bagian mantra
yg masing-masing memiliki pintu. Pertama, mantra istighfar
yg berisi perlambang Nabi Musa AS bersama pemuda (al-fata) menjumpai Khidir AS
di perbatasan antara dua lautan. Kedua, mantra salawat yg berisi perlambang
Khidir AS melubangi perahu. Ketiga, mantra dalil yg berisi perlambang Khidir AS
membunuh anak. Keempat, mantra nafs al-haqq yg berisi perlambang Khidir AS
menegakkan dinding yg di bawahnya tersembunyi perbendaharaan.”
Bagi kalangan awam, istighfar
lazimnya dipahami sebagai upaya memohon ampun kepada al-ghaffar sehingga mereka
beroleh ampunan (maghfirah). Tetapi bagi para salik, istighfar adalah upaya
memohon pembebasan dari ‘belenggu’ (penjara) kekauan kepada al-ghaffar sehingga
beroleh maghfirah yg menyingkap tabir ghain yg menyelubungi manusia.
Sesungguhnya di dalam Asma’ al-Ghaffar terangkum makna Maha Pengampun dan juga
Makna Maha Menutupi, Maha menyembunyikan dan Maha Menyelubungi.”
“Sesungguhnya perjalanan manusia, ketika sudah mengalami kasyf al-hijab ia telah sampai ke bagian jembatan yg disebut mantra istighfar. Tabir ghain yg menyelubungi keakuannya telah menyingsing. Ia telah menyaksikan Khidir AS, namun karena kadang ia terperangkap pada keinginan untuk memperoleh karunia-NYA semata (karamah dari kealian), namun ia hanya berputar-putar di mantra istighfar yg penuh diliputi gambaran-gambaran indah karunia-NYA.”
“Sesungguhnya perjalanan manusia, ketika sudah mengalami kasyf al-hijab ia telah sampai ke bagian jembatan yg disebut mantra istighfar. Tabir ghain yg menyelubungi keakuannya telah menyingsing. Ia telah menyaksikan Khidir AS, namun karena kadang ia terperangkap pada keinginan untuk memperoleh karunia-NYA semata (karamah dari kealian), namun ia hanya berputar-putar di mantra istighfar yg penuh diliputi gambaran-gambaran indah karunia-NYA.”
“Cara melepaskan hal itu, agar ia
sampai pada mantra salawat adalah dgn “Melubangi perahu” seperti yg dilakukan
Khidir AS hal ini harus dilakukan.”
“Tanpa melubangi perahu (maksudnya
tinggalkan akal dimana itu hanya sekedar pancaindera yg tidak kekal dan hanya
niat yg tulus dan “kasih” maka akan diberikan hidayah bagi yg
demikian…..seperti Prabu Jayabaya melakukan Moksa, Beliau meninggalkan segala
bentuk atribut kerajaan yg diperlambang meninggalkan akal..dan intinya kembali
ke fitrah seorang bayi yg melihat dgn “kasih” tanpa ada kerajaan “Akal” di
kepalanya), sang salik tidak akan mengetahui hakikat sejati Lautan Wujud (bahr
al-wujud). Tanpa melubangi perahu maka kedudukan salik tidak jauh berbeda dgn
kedudukan para nelayan; memanfaatkan perahu untuk mencari ikan (pahala) dan
berbagai karunia-NYA yg terhampar di permukaan Lautan Wujud, yg selain
bergelombang dahsyat juga berisiko dihadang Sang Rajadiraja (al-Malik al-Mulki)
yg setiap saat akan merampas perahu-perahu yg baik.”
“Di mantra salawat ini sang salik
harus menyadari kehambaannya kepada Yang Maha Terpuji (ahmad) sebagai Sumber
segala kejadian. Di Mantra itu sang salik harus menjadi ghulam yg baik dan
berbakti kepada sumbernya, yakni pancaran Air Kehidupan yg mengalir dari lubang
perahu yg dibuat Khidir AS Ghulam yg durhaka dan mengingkari kehambaannya kepada
Yang Terpuji harus dibunuh. Sang salik yg tenggelam ke dalam mantra salawat ini
disebut fana ke dalam Rasulullah (fana’ fi rasul).”
“Air Kehidupan yang memancar dari
lubang itu sesungguhnya sama hakikatnya dgn Air Kehidupan yg tergelar di
hamparan Lautan Wujud. Walau demikian, tanpa melalui Air Kehidupan yg mengalir
dari lubang maka salik tidak akan mencapai Air Kehidupan yg tergelar di Lautan
Wujud.”
“Mantra tahlil adalah mantra Ke-Esa-an. Mantra Tauhid. Inilah mantra Ke-Esa-an Wujud; Lautan Wujud sama hakikatnya dengan Air Kehidupan. Ibarat ungkapan kesaksian tidak ada ilah selain Allah (la ilaha illa Allah), demikianlah di mantra ini terungkap kesaksian tidak ada air lain yg tergelar di hamparan Lautan Wujud kecuali Air Kehidupan (Ma’ al-Hayy) yg mengalir dari Sang hidup (al-Hayy). Inilah mantra yg diibaratkan dalam perlambang dinding yg ditegakkan Khidir AS yg di bawahnya tersembunyi perbendaharaan.”
“Mantra tahlil adalah mantra Ke-Esa-an. Mantra Tauhid. Inilah mantra Ke-Esa-an Wujud; Lautan Wujud sama hakikatnya dengan Air Kehidupan. Ibarat ungkapan kesaksian tidak ada ilah selain Allah (la ilaha illa Allah), demikianlah di mantra ini terungkap kesaksian tidak ada air lain yg tergelar di hamparan Lautan Wujud kecuali Air Kehidupan (Ma’ al-Hayy) yg mengalir dari Sang hidup (al-Hayy). Inilah mantra yg diibaratkan dalam perlambang dinding yg ditegakkan Khidir AS yg di bawahnya tersembunyi perbendaharaan.”
“Mantra nafs al-haqq adalah mantra
rahasia yg tidak bisa diuraikan. Sebab, mantra ini menyangkut Perbendaharaan
Tersembunyi yg terdapat di bawah dinding. Tak ada satu pun di antara makhluk yg
mengetahui keberadaan-NYA, kecuali memang dikehendaki-NYA. Jika Al Qur’an saja
tidak memberikan penjelasan tentang apa sesungguhnya Perbendaharaan, tentunya
manusia tidak boleh menghayal-khayal tentang Perbendaharaan itu. Gambaran Nabi
Musa AS yg berpisah dengan Khidir AS di mantra itu adalah kearifan dari Sang
Pencerita untuk tidak mengungkapkan apa yg tidak dapat dipahami pendengar-NYA.”
Bagi Syekh Siti Jenar, bentuk lafadz
istighfar, shalawat, tasbih, tahlil dan semacamnya sebenarnya lafadz-lafadz yg
menuntut menusi untuk menempuh jalan menuju kemanunggalan. Sehingga
kalimat-kalimat tersebut tidaklah cukup hanya dijadikan ucapan penghias bibir
belaka. Kalimat-kalimat tersebut hakikatnya adalah urat nadi perjalanan rohani
manusia, yg penyelami atasnya dapat membawa ke samudera ma’rifat untuk mengenal
dan mendekati-NYA dan kemudian menghampiri-NYA untuk manunggal dalam keabadian.
Sehingga mantra-mantra dari kalimat itu akan tetap terbawa kesadarannya tetap
mengiringinya dengan senyum menuju Haribaan-NYA. Yakinlah kamu atas nama Allah
maka kamu akan sampai dgn kehendak-NYA…Amin…amin…
Pelaksanaan
Haji Syekh Siti Jenar
Bagi Syekh Siti Jenar, ibadah haji
di al-Haramain merupakan tindakan atau laku ‘abid yg sedang menjalankan ibadah
untuk mengarahkan kiblat kepada Ma’bud. Inilah inti ibadah haji yg menurut
Syekh Siti Jenar akan mampu membawa pencerahan bagi pelaksananya. Haji bukan
semata-mata melaksanakan ihram, thawaf, sa’I, wuquf, bermalam di Muzdalifah dan
Masy’ar al-Haram
dan melempar jumrah secara badani.
Tetapi makna hakiki haji bagi Beliau
adalah peribadatan yg mampu membawa seorang salik mendaki maqam jasadiyah ke
maqam rohaniyah; tindakan manapaki kembali jejak Adam yg terusir dari surga, ke
asal penciptaan yg mulia di antara semua hamba-NYA, yaitu Adam yg kepadanya
seluruh malaikat bersujud dan dibanggakan Rabb-nya karena mengetahui nama-nama serta
berwawansabda dgn al-Khaliq.
Demikian pula dgn Makkah. Bagi
Beliau kota suci ini merupakan tempat meningkatkan kualitas kehidupan
mistiknya. Ka’bah sebagai “pusat kosmik” merupakan tempat khusus memperoleh
pengalaman rohani yg tidak mungkin diperoleh di temapat lain. Perenungan yg
demikian dalam itulah yg kemudian menghasilkan pengalaman spiritual, menuju
puncak ma’rifatullah.
Pengalaman spiritual pertama, Syekh
Siti Jenar mengalami ke fana’-an yg lebih tinggi dibanding pengalaman spiritual
yg sudah lewat. Dalam keadaan fana’-nya itu, ia mengalami pandangan lawami’,
menyaksikan seorang pemuda yg telah sampai kepada tingkatan puncak dalam
pendakian spiritual. Melalui isyarat (pembicaraan dgn bahasa perlambang) dan
al-ima’ (pembicaraan tanpa lisan dan bahasa perlambang), pemuda tersebut
mengungkap jalan menuju-NYA; menembus berbagai tabir hijab dualitas insaniyah
dan Ilahi-yah, memasuki samudera sifat dan Asma Allah. Beliau dituntun menjadi
al-Insan al-Kamil, dimana potensi Roh al-Haqq yg bersemayam dalam Baitul Haram
hati-jiwanya, dioptimalisir bagi eksistensi dirinya di dunia. Jika Roh al-Haqq
ini tidak dioptimalisasikan, maka hakikat manusia hidup adalah hanya sebagai
mayat atau bangkai. Demikian pula jalur ibadah formal yg tidak disertai
kebangkitan Roh al-Haqq, tidak akan memiliki efektivitas apapun, bagi kehidupan
sejati di akhirat kelak.
Roh al-Haqq dari lubuk Abitul Haram
hati itulah yg menjalin relasi dgn Dia (Huwa), yg meniupkan roh-NYA melalui
nafs al-rahman. Melalui jalur itulah akan tersingkap seluruh rahasia keberadaan
al-Haqq (Yang Riil) yg menjadi esensi sekaligus substansi Roh al-Haqq. Jalinan
antara al-Haqq dan Huwa (Dia Yang Mutlak Tak Terbatas) itulah hakikat sejati
dari fana’ fi tauhid; Yang Riil Yang Beragam (farq), manunggal dengan Yang Satu
(Jam’).
Setelah Beliau mengalami pengalaman
puncak spiritual yg dahsyat tsb, kembali terjadi pengalaman kedua. Melalui nur
lawami’ dan fawa’id-nya, ia mengetahui bahwa pemuda yg semula membimbingnya
mengalami pengalaman puncak, tiada lain dan tidak bukan adalah Abu Bakar
al-Shidiq, sahabat etrkasih Rasulullah. Pengalaman pertemuan dgn roh Abu Bakar
itu terjadi dalam kondisi ekstase kesufian, ketika kesadaran jiwanya berada
dalam ‘alam al-khalaq (alam kasatmata)dgn ‘alam al-khayal (alam imajinasi).
Pengalaman ketiga, terjadi ketika
thawaf wada’. Ketika kondisi rohaninya sedang berada dalam ke-fana’-an, ia
merasakan nur dalam dirinya menyatu dgn Nur Muhammad. Dalam pergulatan kalbunya
itu, kemudian ia terbawa dalam situasi yg mencengangkan. Mendadak Ka’bah dan
segala yg disekitarnya lenyap. Ia berada di alam syahadah yg maha-luas, dimana
seluruh tubuhnya memancar Nur. Ia merasakan dan menyatu dgn Nur, sehingga ia
tidak tahu lagi tentang eksistensi dirinya. Antara sadar dan tidak, ia
merasakan al-Haqq yg bersemayam di arsy Baitul Haram hatinya berkata-kata
sendiri, “Ana sirr al-Haqqi wa ma al-Haqq ana, wa ANA AL-HAQQ fa innani ma
ziltu aba wa bi al-Haqqi haqqun.”
Di Makkah beliau telah berhasil
mencapai kemanunggalan. Kini seluruh pandangan beliau telah selalu berada dalam
‘ain al-bashirah, sebagai pengejawantahan dari al-Bashir.
Ketika Syekh Siti Jenar berada di
depan kubur Rasulullah, ia kembali mengalami lintasan-lintasn rohani yg
menakjubkan. Kali ini melalui pandangan al-bashirah-nya, ia dieprtumukan dgn
sosok agung Muhammad SAW, yg mengungkapkan rahasia Nur Muhammad dan wujudiyah
kepada Syekh Siti Jenar, mengungkapkan rahasia kalimat, “Ana min nur Allah wa
khalq kulluhum min nuri.” Demikian pula mengenai rahasia Haqiqah Muhammad, yg
di dalamnya terhadap nama lain Nabi Muhammad, yaitu “Ahmad” itulah yg dimaksud
dalam hadist “ana Ahmadun bi-la mim.” Yg maksudnya adalah “Aku tidak lain
adalah Ahad.” Jadi Nabi Muhammad yg diberi nama semesta “Ahmad” tidak lain
adalah pengejawantahan dari sang “Ahad” sendiri.
Dari pengalaman kemanunggalan yg
dialami di Makkah itu, Syekh Siti Jenar tidak bisa membedakan antara fana’ fi
Allah dan fana’ fi rasul, sebab hakikat dan esensinya sama. Fana’ fi rasul,
melalui rahasia di balik nama “Ahmad”, tidak lain juga fana’ fi al-Ahad.