Senin, 10 Februari 2014

Musik Dan Perlawanan



MASIHKAH ADA PERLAWANAN PADA MUSIK DAN LIRIK.??

“UNTUK SETIAP TEORI TEORI PERLAWANAN YANG KALIAN INSUREKSIKAN SELAMA INI DAN UNTUK HAK HAK SETIAP KEPALA YANG MENAGIH KEBEBASAN MENGEKSPRESIKAN KEINGINAN MEREKA TERHADAP DUNIA”
(Dikutip dari Novel FORGOTTEN – Laras Perlaya)

Hidup memang bukan sebuah pilihan melainkan sebuah keharusan dan kita sadar betul akan hal itu, tidak ada orang yang tahu kenapa harus terlahir dan menjalani kehidupan.. wtf kalian punya jawaban tersendiri akan hal tersebut. Dan mari berhenti hidup dalam pencarian jati diri, hidup akan lebih indah bila dimaknai dengan penciptaan. Ciptakan hal hal yang membuatmu nyaman untuk menjalani kehidupan, revolusi diri agar hidup lebih indah J
Langsung saja pada inti dari apa yang menghantui pemikiran saya selama ini, juga alasan saya merakit zine ini seperti halnya merakit molotov (tapi nyatanya merakit kata tak semudah merakit molotov... lieuuurr aslina brad :v), tapi media inilah yang saya anggap lebih efektif untuk meledakan suara perlawanan karena ledakan dari kata kata lebih dahsyat dibandingkan ledakan molotov seperti halnya sederetan puisi Widji Thukul yang membuat pemerintah gelisah, dan berujung dengan isu isu tak sedap tentang hilangnya seorang Widji, Thukulnya sih maasih ada Cuma yang ini Thukul Arwana serupa perpaduan antara alien dan predator :D ..  entahlah saya kurang tahu tentang sejarah, terlalu banyak manipulasi tirani dalam sejarah negeri ini.
Pertama mungkin saya akan mengajak kalian sedikit berjelajah ke masa-masa lahirnya dan masuknya musik musik perlawanan pada tahun 1950an sampai lahirnya milenium.
 Sejak revolusi musik rock n’ roll ditahun 1950-1960an, satu dekade kemudian musik Punk lahir di U.K dan U.S.A sebagai respon dari kondisi sosial, politik dan ekonomi yang merugikan masyarakat menengah kebawah. Saat itu kebijakan politik dalam dan luar negeri pemerintah kedua negara tersebut sedang agresif-agresifnya. Disaat yang sama juga krisis ekonomi melanda kedua negara tersebut sehigga menyebabkan tingkat pengangguran yang tinggi dan pertentangan antar kelas didalam tubuh masyarakat. Lalu, dalam kondisi ini ekspresi budaya anak muda juga dikekang oleh korporat-korporat industri budaya anak muda yang membatasi akses dan partisipasi anak muda dalam ranah produksi musik.
Saat itu hanya musisi-musisi “profesional” yang disponsori oleh label rekaman besar yang dapat mentas di club-club musik lokal dan nasional. Tidak ada tempat untuk para musisi amatiran.
Gerakan puk muncul sebagai respon atas kemapanan sosial, politik, ekonomi  dan budaya ini. Bermula dari club-club kecil seperti CBGB di New York, Richard Hell,The Voidoids, Patti Smith, Velvet Underground, The Ramones dan banyak lainnya.. menginisiasi penampilan musik yang bertolak belakang dengan penampilan yang dilakukan musisi-musisi besar. Mereka tampil dengan karakter yang nyeleneh, bahkan dengan memakai kostum yang aneh, dan memainkan musik yang cenderung berisik umtuk diterima oleh masyarakat umum.
Begitu juga dengan kostum yang dikenakan Punk. Vivine Westwood dan Malcom Mclaren menciptakan fashion punk dengan gaya baju dan celana yang sobek, compang-camping, tindik ditelinga/hidung, boots dan rambut mohawk sebagai karakter fisik para pemuda Punk. Kelinci percobaan pertamanya adalah band yang dimanageri oleh Mclaren sendiri, yaitu The Sex Pistols, Dick Hebdige (1979) pernah mengatakan fashion punk yang compang-camping ini sangat hamil dengan makna.
Fashion Punk otentik diatas dibuat untuk mencemooh orang-orang kaya yang selalu berpakaian rapihdan merk yang mahala. Fashion Punk adalah media perlawanan terhadap gaya hidup kaum borjuis yang senang menghambur-hamburkan uang mereka demi gaya hidup yang hedonis (seraya  mereka berkata sembah dunia.. sembah dunia.. uang berkuasa *konyol, harta ga dibawa mati).
Pada era 1990an, karakter estetika Punk, baik itu fashion maupun musik , mengalami perubahan bersamaan dengan perubahan suhu politik yang ada pada masa itu. Secara musikalitas, musik punk menjadi lebih agresi dan keras, yang kemudian kita kenal dengan genre Hardcore Punk. Bad Brains, Teen Idles, Black Flag, Agnostic Front, Descendents adalah sebagian dari band-band Hardcore yang lahir pada masa itu. Musik Punk sebagai bagian dari budaya perlawanan kemudian menjadi populer hampir diseluruh dunia. Mulai dari Afrika, Timur Tengah, Eropa, Australia, Amerika Latin dan Asia, termasuk didalamnya Indonesia.
Masuknya musik Punk ke Indonesia mempunyai latar belakang historis yang signifikan. Semakin gencarnya tekanan globalisasi yang melahirkan liberalisasi dan privatisasi media, tingkat pengangguran yang tinggi, sistem politik  yang otoritarian, militerisme yang brutal, dan gap antara generasi muda dan tua membuat Punk diterima oleh banyak anak muda Indonesia di kota-kota besar  pada akhir tahun 1980an dan awal tahun 1990an.
Banyak anak muda pada saat itu yang tergila-gila dengan rambut mohawk, piercing, sepatu boots (Dr. Martens), dan baju compang-camping hanya untuk mereprentasikan dirinya sebagai bagian dari “musuh masyarakat” . Saat itu juga mereka mulai membuat band dengan teman-teman tongkrongan mereka, membawakan lagu dari Sex Pistols, Ramones, The Business, The Exploited, Green Day  dan lain-lain.
Saat itu memang Punk merupakan “barang baru” bagi anak muda Indonesia. Karakter musik yang agresif, pesan politik yang kritis dalam lirik-lirik lagu yang mereka bawakan, dan rasa persatuan sebagai bagian dari masyarakat yang termajinalkan mewakili perasaan mereka yang hidup dalam ruang sosial, politik dan budaya yang menindas. Dari sinilah lahir sebagai skena musik underground dikota-kota besar di Indonesia. Keberadaan skena musik underground yang mendifusikan pesan-pesan politik anti-kemapanan (menginginkan perubahan) melahirkan anak-anak muda yang kritis terhadap kondisi politik nasional.
Pada akhir tahun 1990an muncul berbagai gerakan politik Punk seperti Front Anti Fasis (FAF) yang secara kolektif memperjuangkan hak-hak kaum buruh. Para aktivis punk juga aktif dalam melakukan resistensi terhadap rezim Orde Baru. Sebagaimana yang dikatakan oleh Jeremy Wallach, para pemuda underground ini merupakan agen demokrasi dimana musik punk dan underground lainnya menjadi sountrack dalam perjuangan mereka melawan rezim Orde Baru.
Tapi perlawanan itu historis, artinya perlawanan maknanya akan berubah sealur dengan perkembangan sejarah yang ada. Dick Hebdige, yang terinspirasi oleh pemikiran Roland Barthes mengatakan bahwa setiap subkultur (seperti Punk) yang merupakan medium perlawanan terhadap suatu sistem (budaya, politik) akan selalu melalui sebuah proses yang disebut “rekuperasi”(recuperation).
Rekuperasi adalah sebuah proses penihilan makna simbol perlawanan. Dalam hal ini, budaya Punk yang identik dengan budaya perlawanan (sangat politis) dibuat menjadi tidak bermakna dan terlebih lagi, menjadi bahan cemoohan (ini yang saya alami, mau melawan malah dicemooh.. tapi diam saja itu lebih hina). Menurut Hebdige, proses rekuperasi dilakukan dengan Dua proses, yaitu dengan menjadikan budaya punk sebagai komoditas komersil (komodifikasi) dan mendomestifikasikan seluruh simbol kemapanan. Walhasil, Punk yang tadinya “garang”, “agresif” dan “polotikal” berubah menjadi simbol tanpa makna alias nihil (nihilisme).
Kini di Indonesia jika ada yang mengaku dirinya “punk”, seringkali klaimnya itu tidak lebih dari sekedar pencitraan. Punk kini tidak seperti Punk dahulu tahun 1990an. Makanya resistensinya terhadap sistem yang mapan menjadi dipertanyakan. Kini band-band Punk bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan kapitalis, bahkan bekerja sama dengan aparat militer. Padahal sebelumnya, dasar perlawanan kaum muda punk di Indonesia adalah perlawanan terhadap kapitalisme dan militerisme yang dijewantahkandalam sistem pemerintahan Orde Baru.
Disinilah timbul pertanyaan, apakah masih bisa disebut “perlawanan” jika kaum punk ini bekerjasama atau masuk kedalam sistem yang sebelumnya mereka lawan.? Jika iya, bagaimana.? Lalu apa yang mereka lawan.?
Musik memang sebuah media perlawanan. Tapi ia sebenarnya “netral” atau “bebas nilai” ujar Idhar.
Musik di indonesia bukan saja dipakaisebagai media perlawanan, tapi sudah menjadi bagian dari komoditas ekonomi dan politik. Orang berbisnis dengan musik . mencari sesuap nasi dan mengisi tabungan masa depan. Musik juga dipakai untuk kampanye ParPol dan pemilihan Gubernu atau Walikota untuk meraup masa sebagai propaganda politik.
Menegaskan pertanyaan yang sama , “apakah masih bisa disebut “perlawanan” jika kaum punk ini bekerjasama atau masuk kedalam sistem yang sebelumnya mereka lawan.? Jika iya, bagaimana.? Lalu apa yang mereka lawan.?”
Untuk mencari jawaban ini saya memilih melakukan tanya jawab dengan seorang yang menambah mimpi buruk dengan kata katanya yang “menampar” saya.. (untuk kalian ya kalian cari jawaban sendiri dah, kali aja nyelip didalem peti atau lemari)
Kausa Prima yang dipanggil black ini seorang musisi perlawanan yang real bagi saya, dengan bandnya Napaled dengan lirik lirik metafora sarkas yang mengkritik dalam hentakan hardcore bergaya vokal nge-rap ..
Meski seorang black memilih genre hardcore sebagai pengantar liriknya dia sendiri tidak tesekat oleh genre, apapun genrenya baginya sama saja dalam prihal underground karena baginya “genre bukan sebuah kompas untuk menemukan arah, melainkan genre adalah identitas siapa kita” . tentu saya sepaham dengannya, untuk apa kita membeda bedakan genre atau rasis dalam perihal musik underground toh kita seatap.. sama sama penghuni  bawah tanah. Dan bukan seberapa keras musik yang kita mainkan untuk melakukan perlawanan tapi seberapa bernyali kita menulis lirik dalam sebuah lagu, tentunya kalian bukan boyband atau band pop yang cengeng karena masalah percintaan, come on Underground not Pop brother.!!!
Lirik dalam sebuah lagu adalah salah satu bentuk perlawanan, jadi dimana letak perlawanan kalian bila liriknya saja nyeleneh jauh dari kata insureksi perlawanan. Beri sentuhan edukasi dalam lirik kalian untuk melawan budaya pembodohan dinegeri kita ini, karena kebodohan bukanlah hal yang patut dibudayakan. Tremor dengan lagu milisi kecoanya yang berjudul “punk terdomestifikasi”, tentunya mengkritik mereka yang mengaku punk tapi malah bercumbu dengan sistem yang dulunya mereka lawanseperti bergabung dengan label besar, manggung ditempat militer yang secara tidak langsung mendukung militerisme, manggung minta bayaran seperti rockstar, hey Punk bukan musik dangdut yang menghibur dan mengajak penonton bergoyang lalu menagih saweran.. maka timbul pertanyaan :

Apakah masih bisa disebut “perlawanan” jika kaum punk ini bekerjasama atau masuk kedalam sistem yang sebelumnya mereka lawan.? Jika iya, bagaimana.? Lalu apa yang mereka lawan.?”

Menurut Kausa “Mungkin secara materi masih berteriak protes pada keadaan sah sah saja, dan melakukan kontrak dengan label besar bukanlah hal yang haram”, S.I.D pun melakukan kontrak dengan Sony dan Jrx menegaskan bahwa dia tidak merasa dimanfaatkan karena kontraknya dia sendiri yang menentukan, tentu saja dia tidak mau terjerat label dalam segi royalty dam perbagai hal lainnya malahan  S.I.D memanfaatkan label besar tersebut.Dan hal tersebut lebih efektif karena dengan begitu musik musik kultur tandingan tidak cuma jadi konsumsi minoritas saja. Lirik lirik perlawanan akan lebih mudah tersampaikan, asal kita tidak lupa diri karena kilauan cahaya popularitas. Dan harus tetap ingat kita adalah bagian dari perlawanan melawan kaum borjuis dengan kostum dan penampilan kita.
Untuk manggung ditempat militer itu sudah jelas, bagi saya itu sama halnya dengan disodomi para akabri dan menjilati lubang tai mereka. Budaya Punk melawan militerisme, nah ini malah manggung ditempat militer.. coli aja sampai mati brayyy :v
Walhasil kita belum menemukan jawaban pasti karena ini penilaian segelintir sudut pandang :/
Mungkin memang kita harus menafsirkan kembalimakna dari sebuah perlawanan.
 Apa itu perlawanan.?  Kenapa harus melawan.? Dan apa yang kita lawan.?
Ini hanya kulitnya saja, kalian pikirkan isinya.
Musik memang sebuah media perlawanan, seperti pisau “Apakah pisau itu akan dipakai untuk memotong buah, atau untuk membunuh“. Apakah akan digunakan untuk sesuaatu yang bermanfaat atau sebaliknya (Heri ‘Ucok’ Sutresna a.k.a).
Dan Kausa Prima beropini “Perlawanan itu terlalu singkat, serupa klimaks para pecandu ritual kamasutra (jangan becanda deh bang black -_-) yah melawan itu insting dasar seseorang yang merasa terancam, Cuma perlawanannya berbeda beda dan perlawanan didalam konteks ini ya menolak dibodohi oleh rancangan sistem. Sistem apapun itu entah sosial ataupun ekonomi . Dan kenapa kita harus melawan.? Ya itu tadi, karena insting. Ketika kita sadar sudah diputar balikan oleh sistem maka kita akan mengering kasat serupa para nihilis dalam kepulauan asap hedonis. Dan perlawanan itu sendiri untuk menunjukan bahwa kita menolak dijadikan skdup dan bidak catur dalam wacana mereka.”

Dan pesan dari sohib saya Kausa “black” Prima : “membaca zine adalah sebuah bentuk lain dari penyeragaman dibanding mereka yang berhasrat pada buku bacaan mainstream. Dan jadikan apa yang kalian baca (zine) sebuah penolakan (perlawanan) pada sistem yang seragam disaat media mainstream yang makin merakit konsumennya untuk menjadi kawanan zombie. Pastikan tiap lembar dari halaman zinenya adalah barisan huruf huruf yang memandu kalian pada apa itu namanya menolak disamakan pada kawanan  yang klimaks pada trend mainstream.”
Bagi saya sendiri perlawanan adalah timbal balik atas apa kita tolak apapun bentuk dari dorongan yang membuat kita mual atau muak. Tentu saja harus melawan, karena saya tidak mau memaksakan diri untuk hal yang tidak saya sukai dan tidak berbuah baik bagi diri saya sendiri. Dan kenapa harus melawan.? Bila kita tidak dapat menerima sesuatu dari luar tubuh kita dan sesuatu itu memberikan tekanan atau dorongan aecara berkala apakah kita akan diam saja.? Diam bukan penyelesaian, dan melawanpun bukan kebenaran karena kebenaran tidak menapati standarisasi dari nilai nlai. Melawan bagi saya adalah awal dari sebuah pencapaian. Dan apa yang kita lawan.? Kita mempunyai berbagai bentuk perlawanan karena banyak harus harus kita lawan, bahkan bagian dari diri kita sendiripun ada yang harus kita lawan, yaitu ego diri. Karena musuh terbesarmu adalah dirimu sendiri.
Dan tentunya kalian punya opini tersendiri tentang perlawanan, dan dapat saya katakan bahwa musik hanyalah sebuah media belaka.. Jiwa Perlawanan terletak pada diri manusia  bukan pada musik.
Mungkin kebanyakan bagaian bagian dari zine ini copas, tapi bukan copasnya yang ingin saya sampaikan tapi isinya, thanks beefore sudah mau membaca.
(warning : membaca dapat mengakibatkan bertambahnya ilmu pengetahuan, doyan ngopi sambil ketawa sendiri dan lupa waktu J )

(sumber :” Pemuda, Musik dan Poloitik”  The Wolrd Of Papskido http://papskido.wordpress.com/2013/03/02/pemuda-musik-dan-politik/)


Dialog no editing dengan kausa :
                  


  • me : "Okeh pertama saya ingin sedikit bio tentang nama anda, nama band dan genre band anda.? namun bila keberatan kita loncat to next question hehehe"

  • Kausa Prima
    Kausa Prima

    "oke...hahahaha, terlalu formal kedengarannya bagi ku jika di tanya nama...yah biar akrab panggil saja aku Black, karena kawan kawan biasa menyapa ku begitu dan kini giliran mu tu memanggil ku dng sebutan itu....hmmmm..kalo band, aku lagi tak bertuan maksud nya solo mikropon dan aku memainkan genre hard core rap dimana aku lebih bermain metafora sarkas dalam lirik ketimbang membuat yg mendengarkan tuk bergoyang hahahahaha...


  • oia napaled aja lah kawan...karena lagu lagu ku menggunakan nama Napaled,,,kalo black sapaan di linkungan ku..."




    me : "Hahaha okelah black, menurut anda apakah genre itu penting bagi anda.? soalnya tidak sedikit penikmat musik yang tersekat pada genre dan menolak genre lainnya untuk masuk ditelinganya."

    Kausa Prima
    Kausa Prima
    "bagi ku genre bukan sebuah kompas tuk menentukkan arah, tapi genre adalah identitas siapa kita....aku juga melahap hampir genre musik apapun selama lagu itu bukan pembodohan...dan bukan seberapa keras musik yang kau mainkan, tapi seberapa bernyali kau menulis lirik dalam sebuah lagu"


     me : "Bila demikian, menurutmu nih penting mana antara musik yang nampol dengan lirik yang mengkritik.? apakah dalam musik masih ada perlawanan.?"



    Kausa Prima
    Kausa Prima
    "oh sangat...disaat musik lokal di dera dengan materi materi pembodohan dimana media juga menyusupkan tema yang seragam pada lini selera pasar serupa balutan musik dalam polesan MTV. karena musik buat ku juga bentuk lain dari edukasi dimana jika sebuah lagu dengan lirik lirik yg cerdas setara membaca jejeran huruf huruf yg menagih tuk di suarakan...dan sudah sangat jelas musik sanggup berwujud dalam bentuk perlawanan...karena ada senyawa emosi di dalam nya."



    me : "Hmm.. lalu bagaimana sudut pandang anda tentang musik dan lirik perlawanan terhadap kondisi sosial, politik dan ekonomi.?"



    Kausa Prima
    Kausa Prima
    "kalau menurut ku membuat lagu tentang kultur tandingan itu sendiri sebuah perlawanan personal dalam skala arus mainstream dan sistem, bahwa ada yang tidak nyaman dengan sistem keragaman yang kita rasakan..."



    me : "Nah mungkin bisa saya katakan anda menjalani prinsip berd.i.y karena tidak harus primitif untuk berd.i.y, menurut seorang black nih yang dimaksud dari do it yourself itu apa.?"


    Kausa Prima
    Kausa Prima
    "yap....kalo aku melakukan itu ya dengan tidak terjebak pada bagaimana cara nya menjadi rock star saat membuat lagu dan mengharap ada kontribusi secara finansial..atau kalah dengan intimidasi selera pasar yah maksud nya tiba tiba saja kita merombak format idealis menjadi komersil demi hal hal yg berbau ketenaran...yg aku jalani saat ini sih aku menanggalkan bola mata ku tuk kilauan cahaya popularitas itu...hahahaha..."


    me : "Hahaha mata rockstar" itu tidak melihat karena saking hitamnya kaca mata yang mereka kenakan.. bila ada indie label menawari untuk masuk managementnya, apa akan kamu terima.? mohon jelaskan black..Hehe"


    Kausa Prima
    Kausa Prima
    "hahahahaha...hmmmmm, tergantung, selama label itu sepaham dengan materi materi ku dan tidak mengatur isi materi dan gerak visual ku...dan jika pun benar, aku akan jadikan label itu sarana batu trotoar yg siap terlempar."


    me : "Kita semua tahu tidak sedikit band cadas dengan lirik mengkritik berkerjasama dengan label besar di tanah air ini, apakah musik mereka masih bisa disebut musik perlawanan.?"


    Kausa Prima
    Kausa Prima
    "yah kalo secara materi masih berteriak protes pada keadaan sah sah saja...dan bersetubuh dengan label besar kan bukan hal yg haram...malah itu lebih efektif karena dengan begitu musik musik kultur tandingan tidak cuma jadi kosumsi minoritas saja...ku pikir gpp sih"


    me : "Hmm.. mungkin ini pertanyaan penutup black, bagi anda perlawanan itu apa.? kenapa harus melawan.? dan untuk apa perlawanan tersebut.?"


    Kausa Prima
    Kausa Prima
    "hmmm..terlalu singkat serupa klimaks para pecandu ritual Kamasutra...hahahahha...yah melawan itu insting dasar seseorang yang merasa terancam cuma saja perlawanan nya berbeda beda, dan perlawanan di dalam konteks ini ya menolak aja di bodohi oleh rancangan sistem, sistem apapun itu entah sosial atau ekonomi...dan kenapa kita harus melawan? ya itu tadi, insting..ketika kita sadar sudah di putar balikkan oleh sistem maka jika bisa melawan ya harus melawan, karena jika cuma diam kita akan mengering kasat serupa para nihilis dalam kepulan asap hedonisme...dan perlawanan itu sendiri untuk menunjukkan bahwa menolak di jadikan skrup dan bidak dalam wacana mereka...yeaahhh"

    (02 february 2014)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar