
“UNTUK SETIAP
TEORI TEORI PERLAWANAN YANG KALIAN INSUREKSIKAN SELAMA INI DAN UNTUK HAK HAK SETIAP
KEPALA YANG MENAGIH KEBEBASAN MENGEKSPRESIKAN KEINGINAN MEREKA TERHADAP DUNIA”
(Dikutip dari Novel FORGOTTEN – Laras
Perlaya)
Hidup
memang bukan sebuah pilihan melainkan sebuah keharusan dan kita sadar betul
akan hal itu, tidak ada orang yang tahu kenapa harus terlahir dan menjalani
kehidupan.. wtf kalian punya jawaban tersendiri akan hal tersebut. Dan mari
berhenti hidup dalam pencarian jati diri, hidup akan lebih indah bila dimaknai
dengan penciptaan. Ciptakan hal hal yang membuatmu nyaman untuk menjalani
kehidupan, revolusi diri agar hidup lebih indah J
Langsung saja pada inti dari apa yang menghantui pemikiran saya selama ini, juga alasan saya merakit zine ini seperti halnya merakit molotov (tapi nyatanya merakit kata tak semudah merakit molotov... lieuuurr aslina brad :v), tapi media inilah yang saya anggap lebih efektif untuk meledakan suara perlawanan karena ledakan dari kata kata lebih dahsyat dibandingkan ledakan molotov seperti halnya sederetan puisi Widji Thukul yang membuat pemerintah gelisah, dan berujung dengan isu isu tak sedap tentang hilangnya seorang Widji, Thukulnya sih maasih ada Cuma yang ini Thukul Arwana serupa perpaduan antara alien dan predator :D .. entahlah saya kurang tahu tentang sejarah, terlalu banyak manipulasi tirani dalam sejarah negeri ini.
Langsung saja pada inti dari apa yang menghantui pemikiran saya selama ini, juga alasan saya merakit zine ini seperti halnya merakit molotov (tapi nyatanya merakit kata tak semudah merakit molotov... lieuuurr aslina brad :v), tapi media inilah yang saya anggap lebih efektif untuk meledakan suara perlawanan karena ledakan dari kata kata lebih dahsyat dibandingkan ledakan molotov seperti halnya sederetan puisi Widji Thukul yang membuat pemerintah gelisah, dan berujung dengan isu isu tak sedap tentang hilangnya seorang Widji, Thukulnya sih maasih ada Cuma yang ini Thukul Arwana serupa perpaduan antara alien dan predator :D .. entahlah saya kurang tahu tentang sejarah, terlalu banyak manipulasi tirani dalam sejarah negeri ini.
Pertama
mungkin saya akan mengajak kalian sedikit berjelajah ke masa-masa lahirnya dan
masuknya musik musik perlawanan pada tahun 1950an sampai lahirnya milenium.
Sejak revolusi musik rock n’ roll ditahun
1950-1960an, satu dekade kemudian musik Punk lahir di U.K dan U.S.A sebagai
respon dari kondisi sosial, politik dan ekonomi yang merugikan masyarakat
menengah kebawah. Saat itu kebijakan politik dalam dan luar negeri pemerintah
kedua negara tersebut sedang agresif-agresifnya.
Disaat yang sama juga krisis ekonomi melanda kedua negara tersebut sehigga
menyebabkan tingkat pengangguran yang tinggi dan pertentangan antar kelas
didalam tubuh masyarakat. Lalu, dalam kondisi ini ekspresi budaya anak muda
juga dikekang oleh korporat-korporat industri budaya anak muda yang membatasi
akses dan partisipasi anak muda dalam ranah produksi musik.
Saat
itu hanya musisi-musisi “profesional” yang disponsori oleh label rekaman besar
yang dapat mentas di club-club musik lokal dan nasional. Tidak ada tempat untuk
para musisi amatiran.
Gerakan
puk muncul sebagai respon atas kemapanan sosial, politik, ekonomi dan budaya ini. Bermula dari club-club kecil
seperti CBGB di New York, Richard Hell,The Voidoids, Patti Smith, Velvet
Underground, The Ramones dan banyak lainnya.. menginisiasi penampilan musik
yang bertolak belakang dengan penampilan yang dilakukan musisi-musisi besar.
Mereka tampil dengan karakter yang nyeleneh,
bahkan dengan memakai kostum yang aneh, dan memainkan musik yang cenderung
berisik umtuk diterima oleh masyarakat umum.
Begitu
juga dengan kostum yang dikenakan Punk. Vivine Westwood dan Malcom Mclaren
menciptakan fashion punk dengan gaya baju dan celana yang sobek,
compang-camping, tindik ditelinga/hidung, boots dan rambut mohawk sebagai
karakter fisik para pemuda Punk. Kelinci percobaan pertamanya adalah band yang
dimanageri oleh Mclaren sendiri, yaitu The Sex Pistols, Dick Hebdige (1979)
pernah mengatakan fashion punk yang compang-camping ini sangat hamil dengan
makna.
Fashion
Punk otentik diatas dibuat untuk mencemooh orang-orang kaya yang selalu
berpakaian rapihdan merk yang mahala. Fashion Punk adalah media perlawanan
terhadap gaya hidup kaum borjuis yang senang menghambur-hamburkan uang mereka
demi gaya hidup yang hedonis (seraya
mereka berkata sembah dunia.. sembah dunia.. uang berkuasa *konyol,
harta ga dibawa mati).
Pada
era 1990an, karakter estetika Punk, baik itu fashion maupun musik , mengalami
perubahan bersamaan dengan perubahan suhu politik yang ada pada masa itu.
Secara musikalitas, musik punk menjadi lebih agresi dan keras, yang kemudian
kita kenal dengan genre Hardcore Punk. Bad Brains, Teen Idles, Black Flag,
Agnostic Front, Descendents adalah sebagian dari band-band Hardcore yang lahir
pada masa itu. Musik Punk sebagai bagian dari budaya perlawanan kemudian
menjadi populer hampir diseluruh dunia. Mulai dari Afrika, Timur Tengah, Eropa,
Australia, Amerika Latin dan Asia, termasuk didalamnya Indonesia.
Masuknya
musik Punk ke Indonesia mempunyai latar belakang historis yang signifikan.
Semakin gencarnya tekanan globalisasi yang melahirkan liberalisasi dan
privatisasi media, tingkat pengangguran yang tinggi, sistem politik yang otoritarian, militerisme yang brutal,
dan gap antara generasi muda dan tua membuat Punk diterima oleh banyak anak
muda Indonesia di kota-kota besar pada
akhir tahun 1980an dan awal tahun 1990an.
Banyak
anak muda pada saat itu yang tergila-gila dengan rambut mohawk, piercing,
sepatu boots (Dr. Martens), dan baju compang-camping hanya untuk
mereprentasikan dirinya sebagai bagian dari “musuh masyarakat” . Saat itu juga
mereka mulai membuat band dengan teman-teman tongkrongan mereka, membawakan
lagu dari Sex Pistols, Ramones, The Business, The Exploited, Green Day dan lain-lain.
Saat
itu memang Punk merupakan “barang baru” bagi anak muda Indonesia. Karakter
musik yang agresif, pesan politik yang kritis dalam lirik-lirik lagu yang
mereka bawakan, dan rasa persatuan sebagai bagian dari masyarakat yang
termajinalkan mewakili perasaan mereka yang hidup dalam ruang sosial, politik
dan budaya yang menindas. Dari sinilah lahir sebagai skena musik underground
dikota-kota besar di Indonesia. Keberadaan skena musik underground yang
mendifusikan pesan-pesan politik anti-kemapanan (menginginkan perubahan)
melahirkan anak-anak muda yang kritis terhadap kondisi politik nasional.
Pada
akhir tahun 1990an muncul berbagai gerakan politik Punk seperti Front Anti
Fasis (FAF) yang secara kolektif memperjuangkan hak-hak kaum buruh. Para
aktivis punk juga aktif dalam melakukan resistensi terhadap rezim Orde Baru.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Jeremy Wallach, para pemuda underground ini
merupakan agen demokrasi dimana musik punk dan underground lainnya menjadi
sountrack dalam perjuangan mereka melawan rezim Orde Baru.
Tapi
perlawanan itu historis, artinya perlawanan maknanya akan berubah sealur dengan
perkembangan sejarah yang ada. Dick Hebdige, yang terinspirasi oleh pemikiran Roland
Barthes mengatakan bahwa setiap subkultur (seperti Punk) yang merupakan medium
perlawanan terhadap suatu sistem (budaya, politik) akan selalu melalui sebuah
proses yang disebut “rekuperasi”(recuperation).
Rekuperasi
adalah sebuah proses penihilan makna simbol perlawanan. Dalam hal ini, budaya
Punk yang identik dengan budaya perlawanan (sangat politis) dibuat menjadi
tidak bermakna dan terlebih lagi, menjadi bahan cemoohan (ini yang saya alami,
mau melawan malah dicemooh.. tapi diam saja itu lebih hina). Menurut Hebdige,
proses rekuperasi dilakukan dengan Dua proses, yaitu dengan menjadikan budaya
punk sebagai komoditas komersil (komodifikasi) dan mendomestifikasikan seluruh
simbol kemapanan. Walhasil, Punk yang tadinya “garang”, “agresif” dan
“polotikal” berubah menjadi simbol tanpa makna alias nihil (nihilisme).
Kini
di Indonesia jika ada yang mengaku dirinya “punk”, seringkali klaimnya itu
tidak lebih dari sekedar pencitraan. Punk kini tidak seperti Punk dahulu tahun
1990an. Makanya resistensinya terhadap sistem yang mapan menjadi dipertanyakan.
Kini band-band Punk bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan kapitalis, bahkan
bekerja sama dengan aparat militer. Padahal sebelumnya, dasar perlawanan kaum
muda punk di Indonesia adalah perlawanan terhadap kapitalisme dan militerisme
yang dijewantahkandalam sistem pemerintahan Orde Baru.
Disinilah timbul pertanyaan, apakah
masih bisa disebut “perlawanan” jika kaum punk ini bekerjasama atau masuk
kedalam sistem yang sebelumnya mereka lawan.? Jika iya, bagaimana.? Lalu apa
yang mereka lawan.?
Musik
memang sebuah media perlawanan. Tapi ia sebenarnya “netral” atau “bebas nilai”
ujar Idhar.
Musik
di indonesia bukan saja dipakaisebagai media perlawanan, tapi sudah menjadi
bagian dari komoditas ekonomi dan politik. Orang berbisnis dengan musik .
mencari sesuap nasi dan mengisi tabungan masa depan. Musik juga dipakai untuk
kampanye ParPol dan pemilihan Gubernu atau Walikota untuk meraup masa sebagai
propaganda politik.
Menegaskan
pertanyaan yang sama , “apakah masih
bisa disebut “perlawanan” jika kaum punk ini bekerjasama atau masuk kedalam
sistem yang sebelumnya mereka lawan.? Jika iya, bagaimana.? Lalu apa yang
mereka lawan.?”
Untuk
mencari jawaban ini saya memilih melakukan tanya jawab dengan seorang yang
menambah mimpi buruk dengan kata katanya yang “menampar” saya.. (untuk kalian
ya kalian cari jawaban sendiri dah, kali aja nyelip didalem peti atau lemari)
Kausa
Prima yang dipanggil black ini seorang musisi perlawanan yang real bagi saya,
dengan bandnya Napaled dengan lirik lirik metafora sarkas yang mengkritik dalam
hentakan hardcore bergaya vokal nge-rap ..
Meski
seorang black memilih genre hardcore sebagai pengantar liriknya dia sendiri
tidak tesekat oleh genre, apapun genrenya baginya sama saja dalam prihal
underground karena baginya “genre bukan
sebuah kompas untuk menemukan arah, melainkan genre adalah identitas siapa
kita” . tentu saya sepaham dengannya, untuk apa kita membeda bedakan genre
atau rasis dalam perihal musik underground toh kita seatap.. sama sama penghuni
bawah tanah. Dan bukan seberapa keras musik yang kita mainkan untuk
melakukan perlawanan tapi seberapa bernyali kita menulis lirik dalam sebuah
lagu, tentunya kalian bukan boyband atau
band pop yang cengeng karena masalah
percintaan, come on Underground not Pop brother.!!!
Lirik
dalam sebuah lagu adalah salah satu bentuk perlawanan, jadi dimana letak
perlawanan kalian bila liriknya saja nyeleneh jauh dari kata insureksi
perlawanan. Beri sentuhan edukasi dalam lirik kalian untuk melawan budaya
pembodohan dinegeri kita ini, karena kebodohan bukanlah hal yang patut
dibudayakan. Tremor dengan lagu milisi kecoanya yang berjudul “punk
terdomestifikasi”, tentunya mengkritik mereka yang mengaku punk tapi malah
bercumbu dengan sistem yang dulunya mereka lawanseperti bergabung dengan label
besar, manggung ditempat militer yang secara tidak langsung mendukung
militerisme, manggung minta bayaran seperti rockstar, hey Punk bukan musik
dangdut yang menghibur dan mengajak penonton bergoyang lalu menagih saweran..
maka timbul pertanyaan :
Apakah masih bisa disebut “perlawanan” jika kaum punk ini bekerjasama atau masuk kedalam sistem yang sebelumnya mereka lawan.? Jika iya, bagaimana.? Lalu apa yang mereka lawan.?”
Menurut
Kausa “Mungkin secara materi masih berteriak protes pada keadaan sah sah saja,
dan melakukan kontrak dengan label besar bukanlah hal yang haram”, S.I.D pun
melakukan kontrak dengan Sony dan Jrx menegaskan bahwa dia tidak merasa
dimanfaatkan karena kontraknya dia sendiri yang menentukan, tentu saja dia
tidak mau terjerat label dalam segi royalty dam perbagai hal lainnya
malahan S.I.D memanfaatkan label besar
tersebut.Dan hal tersebut lebih efektif karena dengan begitu musik musik kultur
tandingan tidak cuma jadi konsumsi minoritas saja. Lirik lirik perlawanan akan
lebih mudah tersampaikan, asal kita tidak lupa diri karena kilauan cahaya
popularitas. Dan harus tetap ingat kita adalah bagian dari perlawanan melawan
kaum borjuis dengan kostum dan penampilan kita.
Untuk
manggung ditempat militer itu sudah jelas, bagi saya itu sama halnya dengan
disodomi para akabri dan menjilati lubang tai mereka. Budaya Punk melawan
militerisme, nah ini malah manggung ditempat militer.. coli aja sampai mati brayyy :v
Walhasil kita belum menemukan jawaban
pasti karena ini penilaian segelintir sudut pandang :/
Mungkin
memang kita harus menafsirkan kembalimakna dari sebuah perlawanan.
Apa itu
perlawanan.? Kenapa harus melawan.? Dan
apa yang kita lawan.?
Ini
hanya kulitnya saja, kalian pikirkan isinya.
Musik
memang sebuah media perlawanan, seperti pisau “Apakah pisau itu akan dipakai
untuk memotong buah, atau untuk membunuh“. Apakah akan digunakan untuk sesuaatu
yang bermanfaat atau sebaliknya (Heri ‘Ucok’ Sutresna a.k.a).
Dan
Kausa Prima beropini “Perlawanan itu terlalu singkat, serupa klimaks para
pecandu ritual kamasutra (jangan becanda deh bang black -_-) yah melawan itu
insting dasar seseorang yang merasa terancam, Cuma perlawanannya berbeda beda
dan perlawanan didalam konteks ini ya menolak dibodohi oleh rancangan sistem.
Sistem apapun itu entah sosial ataupun ekonomi . Dan kenapa kita harus
melawan.? Ya itu tadi, karena insting. Ketika kita sadar sudah diputar balikan
oleh sistem maka kita akan mengering kasat serupa para nihilis dalam kepulauan
asap hedonis. Dan perlawanan itu sendiri untuk menunjukan bahwa kita menolak
dijadikan skdup dan bidak catur dalam wacana mereka.”
Dan
pesan dari sohib saya Kausa “black” Prima : “membaca zine adalah sebuah bentuk
lain dari penyeragaman dibanding mereka yang berhasrat pada buku bacaan
mainstream. Dan jadikan apa yang kalian baca (zine) sebuah penolakan
(perlawanan) pada sistem yang seragam disaat media mainstream yang makin
merakit konsumennya untuk menjadi kawanan zombie. Pastikan tiap lembar dari
halaman zinenya adalah barisan huruf huruf yang memandu kalian pada apa itu
namanya menolak disamakan pada kawanan
yang klimaks pada trend mainstream.”
Bagi
saya sendiri perlawanan adalah timbal balik atas apa kita tolak apapun bentuk
dari dorongan yang membuat kita mual atau muak. Tentu saja harus melawan,
karena saya tidak mau memaksakan diri untuk hal yang tidak saya sukai dan tidak
berbuah baik bagi diri saya sendiri. Dan kenapa harus melawan.? Bila kita tidak
dapat menerima sesuatu dari luar tubuh kita dan sesuatu itu memberikan tekanan
atau dorongan aecara berkala apakah kita akan diam saja.? Diam bukan
penyelesaian, dan melawanpun bukan kebenaran karena kebenaran tidak menapati
standarisasi dari nilai nlai. Melawan bagi saya adalah awal dari sebuah
pencapaian. Dan apa yang kita lawan.? Kita mempunyai berbagai bentuk perlawanan
karena banyak harus harus kita lawan, bahkan bagian dari diri kita sendiripun
ada yang harus kita lawan, yaitu ego diri. Karena musuh terbesarmu adalah
dirimu sendiri.
Dan
tentunya kalian punya opini tersendiri tentang perlawanan, dan dapat saya
katakan bahwa musik hanyalah sebuah media belaka.. Jiwa Perlawanan terletak
pada diri manusia bukan pada musik.
Mungkin kebanyakan bagaian bagian
dari zine ini copas, tapi bukan copasnya yang ingin saya sampaikan tapi isinya,
thanks beefore sudah mau membaca.
(warning : membaca dapat
mengakibatkan bertambahnya ilmu pengetahuan, doyan ngopi sambil ketawa sendiri
dan lupa waktu J )
(sumber
:” Pemuda, Musik dan Poloitik” The Wolrd
Of Papskido http://papskido.wordpress.com/2013/03/02/pemuda-musik-dan-politik/)
Dialog no editing dengan kausa :
Dialog no editing dengan kausa :
- Kausa Prima
"oke...hahahaha, terlalu formal kedengarannya bagi ku jika di tanya nama...yah biar akrab panggil saja aku Black, karena kawan kawan biasa menyapa ku begitu dan kini giliran mu tu memanggil ku dng sebutan itu....hmmmm..kalo band, aku lagi tak bertuan maksud nya solo mikropon dan aku memainkan genre hard core rap dimana aku lebih bermain metafora sarkas dalam lirik ketimbang membuat yg mendengarkan tuk bergoyang hahahahaha...
oia napaled aja lah kawan...karena lagu lagu ku menggunakan nama Napaled,,,kalo black sapaan di linkungan ku..."
me : "Hahaha okelah black, menurut anda apakah genre itu penting bagi anda.? soalnya tidak sedikit penikmat musik yang tersekat pada genre dan menolak genre lainnya untuk masuk ditelinganya."
"bagi ku genre bukan sebuah kompas tuk menentukkan arah, tapi genre adalah identitas siapa kita....aku juga melahap hampir genre musik apapun selama lagu itu bukan pembodohan...dan bukan seberapa keras musik yang kau mainkan, tapi seberapa bernyali kau menulis lirik dalam sebuah lagu"
me : "Bila demikian, menurutmu nih penting mana antara musik yang nampol dengan lirik yang mengkritik.? apakah dalam musik masih ada perlawanan.?"
"oh sangat...disaat musik lokal di dera dengan materi materi pembodohan dimana media juga menyusupkan tema yang seragam pada lini selera pasar serupa balutan musik dalam polesan MTV. karena musik buat ku juga bentuk lain dari edukasi dimana jika sebuah lagu dengan lirik lirik yg cerdas setara membaca jejeran huruf huruf yg menagih tuk di suarakan...dan sudah sangat jelas musik sanggup berwujud dalam bentuk perlawanan...karena ada senyawa emosi di dalam nya."
me : "Hmm.. lalu bagaimana sudut pandang anda tentang musik dan lirik perlawanan terhadap kondisi sosial, politik dan ekonomi.?"
"kalau menurut ku membuat lagu tentang kultur tandingan itu sendiri sebuah perlawanan personal dalam skala arus mainstream dan sistem, bahwa ada yang tidak nyaman dengan sistem keragaman yang kita rasakan..."
me : "Nah mungkin bisa saya katakan anda menjalani prinsip berd.i.y karena tidak harus primitif untuk berd.i.y, menurut seorang black nih yang dimaksud dari do it yourself itu apa.?"
"yap....kalo aku melakukan itu ya dengan tidak terjebak pada bagaimana cara nya menjadi rock star saat membuat lagu dan mengharap ada kontribusi secara finansial..atau kalah dengan intimidasi selera pasar yah maksud nya tiba tiba saja kita merombak format idealis menjadi komersil demi hal hal yg berbau ketenaran...yg aku jalani saat ini sih aku menanggalkan bola mata ku tuk kilauan cahaya popularitas itu...hahahaha..."
me : "Hahaha mata rockstar" itu tidak melihat karena saking hitamnya kaca mata yang mereka kenakan.. bila ada indie label menawari untuk masuk managementnya, apa akan kamu terima.? mohon jelaskan black..Hehe"
"hahahahaha...hmmmmm, tergantung, selama label itu sepaham dengan materi materi ku dan tidak mengatur isi materi dan gerak visual ku...dan jika pun benar, aku akan jadikan label itu sarana batu trotoar yg siap terlempar."
me : "Kita semua tahu tidak sedikit band cadas dengan lirik mengkritik berkerjasama dengan label besar di tanah air ini, apakah musik mereka masih bisa disebut musik perlawanan.?"
"yah kalo secara materi masih berteriak protes pada keadaan sah sah saja...dan bersetubuh dengan label besar kan bukan hal yg haram...malah itu lebih efektif karena dengan begitu musik musik kultur tandingan tidak cuma jadi kosumsi minoritas saja...ku pikir gpp sih"
me : "Hmm.. mungkin ini pertanyaan penutup black, bagi anda perlawanan itu apa.? kenapa harus melawan.? dan untuk apa perlawanan tersebut.?"
"hmmm..terlalu singkat serupa klimaks para pecandu ritual Kamasutra...hahahahha...yah melawan itu insting dasar seseorang yang merasa terancam cuma saja perlawanan nya berbeda beda, dan perlawanan di dalam konteks ini ya menolak aja di bodohi oleh rancangan sistem, sistem apapun itu entah sosial atau ekonomi...dan kenapa kita harus melawan? ya itu tadi, insting..ketika kita sadar sudah di putar balikkan oleh sistem maka jika bisa melawan ya harus melawan, karena jika cuma diam kita akan mengering kasat serupa para nihilis dalam kepulan asap hedonisme...dan perlawanan itu sendiri untuk menunjukkan bahwa menolak di jadikan skrup dan bidak dalam wacana mereka...yeaahhh"
(02 february 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar