Minggu, 07 Desember 2014

Pemikiran "KOLOT" Hanya Mewariskan Kemonotonan

Pada malam - malam dimana saya masih terjaga dan enggan memejamkan mata sering terlintas beberapa celotehan yang agak mencubit dada, dan kebanyakan adalah perkataan yang menyudutkan saya pada eksistensi nihilis. Serupa pembicaraan bersama kawan, orang sekampung ataupun mereka yang baru saya kenal, tentu saja bukan karena saya selalu membuka pembicaraan tentang bidang politik ataupun serupanya tapi mungkin karena hal - hal yang menyangkut pemerintahan dan kenegaraan memang sudah lumrah dan umu untuk dibicarakan. Perkataan yang selalu membayang di sela waktu sebelum tidur adalah kata "apa sih gunanya demo, mau teriak sampai pita suara putuspun tak mengubah apapun.?" atau "alah, perlawanan apaan lah.. ga ada yang bisa melawan pemerintah, kita cukup menikmati aja.. toh melawan juga ga bikin kaya.." juga "dasar anak muda jaman sekarang, demo - demo eh malah ngerusak fasilitas umum.." perkataan tersebut hanya beberapa celotehan, masih banyak lagi bila saya sebutkan semua.
Pertama mungkin tentang aksi demo, ketahuilah bahwa aksi demo bukanlah aksi yang mengubah suatu hal dengan instan karena para aktivis bukanlah dewa ataupun Tuhan yang dapat merubah suatu hal hanya dengan satu kalimat kala berkehendak. Sejatinya aksi demo itu sendiri bukan sekedar aksi menuntut pembenahan, pembatalan ataupun keadilan semata. Ada hal penting lainnya selain hal hal tersebut, yaitu peringatan kepada pemerintah bahwa ada yang salah dengan sistem, perundang - undangan ataupun keputusan yang mereka buat. Untuk apa peringatan itu ? tentu saja agar kita sebagai rakyat mendapatkan kelayakan sebagaimana hak kita sebagai rakyat yang memiliki kedaulatan tertinggi di negara ini. Dan tentu saja pemerintahpun tak boleh meutuskan suatu hal seenak jidad, pemerintah harus meulek juga terhadap kondisi sosial, perekonomian rakyatnya karena gunanya pemerintah bukanlah untuk memerintah dan membuat peraturan melainkan menjaga kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya dengan begitu akan terciptalah kedamaian.
Kedua tentang perlawanan, kenapa harus melawan.? melawan adalah insting membela diri, karena ada sebab musababnya. Ketika seseorang berada dalam keadaan terdesak, terancam, tertindas dan sebagainya, rasa untuk membela diri tentu saja akan muncul dan kemudian dengan adanya dorongan keberanian munculah aksi balasan atau melawan secara reflek. Nah, apa kita menagih hasil ataupun bentuk timbal balik lainnya setelah melawan.? tidak ada, hanya ada aksi "saling melawan" atau sebut saja pergesekan dalam perihal ini. Demikian pula dengan aksi - aksi yang kami lakukan, kami melakukan perlawanan karena ada yang tertindas, ada yang tak dapati keadilan, ada yang terancam dan perlawanan sesungguhnya serupa panggilan jiwa, sebut saja saya sakit jiwa jika kalian anggap demikian namun kenyataannya demikian. Kita memang memerlukan perlawanan, mungkin kebanyakan orang memilih perlawanan untuk ancaman yang datang pada dirinya sendiri, sebut saja mengindividualismekan diri dalam perihal melawan. Namun sejujurnya saya tidak bisa menahan diri untuk setiap penindasan - penindasan, pelanggaran ham dsb, dan yang saya lakukan ya melawan. Entah itu pejabat, kyai, ulama ataupun presiden sekalipun, bila mereka melakukan penindasan kepada kaum yang lemah tentu harus dilawan dan yang lemah haruslah dibela. Bukan karena saya merasa kuat, so patriotis atau tek - tek beungek serupanya, melainkan karena saya adalah manusia. Bukankah yang membedakan manusia dengan hewan adalah moralitas, perasaan, akal dan jiwa. Coba bayangkan bila kita menemukan seseorang tengah ditindas oleh seseorang lainnya, apa kita merasa seolah - olah tak terjadi apa - apa didepan mata kita.? Tentunya ada perasaan sedih, kesal, marah dan ingin menolong yang lemah. Apalagi bila yang menindasnya itu adalah seseorang yang mabuk akan duniawi dan menindas seseorang yang polos dan tak memiliki daya untuk melawan. Dan untuk melawan pemerintah, telaah dulu apa sebenarnya yang kita lawan dalam perihal melawan pemerintahan.? Sistem yang korup dan keputusan yang menyengsarakan rakyat tentunya. Bentuk perlawanannya pun bukan berbentuk fisik, dengan merusak berbagai fasilitas misalnya. Kita melawan dengan bersuara, vandal dan hal yang tidak menjatuhkan korban jiwa lainnya tentunya. Bila vandal kalian sebut merusak, sesungguhnya korporasi dan pemerintahanpun melakukan hal merusak yang serupa. Kenapa.? lihatlah poster dan baligho dimusim parpol, apakah itu bukan vandalisme.? mereka sama - sama memprovokasi. Yang membedakan hanya misi dan penilaian saja.Ketiga tentang aksi yang merusak fasilitas umum, tentang hal ini saya sendiri sangatlah tidak menyukai aksi tersebut. Bila sekedar membakar ban dijalan, coret - coret dinding mungkin itu masih dalam batas maklum karena tidak terlalu merusak, dengan sedikit sentuhanpun akan kembali terlihat seperti semula. Mungkin untuk hal ini harus ada penekan kepada mereka yang aksi, entah siapapun itu haruslah ada seseorang yang memberikan pengarahan kepada mereka. Karena apa yang hendak mereka sampaikan tidaklah akan efektif bila cenderung merusak, khalayak lebih fokus menilai keburukan ketimbang maksud baik yang hendak disampaikan. Perlu kesabaran ekstra dan kesadaran akan moralitas juga nilai - nilai estetik dalam melakukan aksi. Dan mungkin harus fleksibel juga, karena bila kita bertindak gegabah mungkin khalayak hanya akan mencemooh ketimbang memikirkan apa yang kita insureksikan. Itu karena setiap kepala memiliki kaca mata yang tak sama, bukan hal yang mudah untuk menempatkan diri dalam sudut yang mereka anggap benar. Kenapa.? karena pemikiran yang "kolot" masih sangat kental dinagara kita ini. Dan tentu saja itupun siasat tirani untuk mencetak khalayak menjadi sedemikian rupa dan tetap tunduk pada putusan - putusan yang mereka buat.
Catatan ini hanya sudut pandang saya pribadi, dan hanya apresiasi kemuakan disela - sela malam kesatiran saya. Maaf bila ada perkataan yang mengandung belati penyayat hati. Namun ini tetaplah kejujuran dari apa yang selalu mengganjal dikepala saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar