Alhamdulillah…Puji Syukur kepada Tuhan YME, Majas Zine kembali hadir untuk bisa kita baca dan maknai sebagai wadah apresiasi dan ekspresi kita pada segala isu dalam wujud karya sastra seperti puisi, prosa, cerpen, dan lain-lain. Pada edisi kedua ini, Majas Zine tampil dalam konten yang lebih variatif dari edisi yang perdana. Masih dengan keterbatasan yang ada, kami berusaha sebisa mungkin untuk tampil lebih segar dan membaharu, berkat bantuan tenaga dan pikiran beberapa teman, juga kontribusi dari teman-teman semua.
Pada edisi kedua ini, kami mengangkat tema gambar Perempuan dan Bayangan yang di tangan kanannya menggenggam hati, sementara di tangan lainnya, menggenggam belati (karya: Dadan Marjoko), yang bisa diartikan “Bahwa musuh sejati kita adalah diri kita sendiri”, atau kita bisa mengartikan lain sebagaimana pikiran kita menerjemahkannya dalam bentuk karya sastra, baik itu puisi, cerpen, dan sebagainya. Majas Zine #2 ini juga menampilkan Biografi Tokoh Sastra, dan yang kami tampilkan kali ini adalah W.S. Rendra.
Majas Zine juga membuat program apresiasi yang bersifat tidak mengikat, bagi teman-teman yang menjadi Kontributor aktif untuk Majas Zine. Kami memberikan dua buah buku gratis plus copy Majas Zine pertiga edisi pada dua orang Kontributor yang beruntung. Kami merasa perlu membuat program apresiasi ini, sebagai wujud lain terima kasih kami atas keberkenanan teman-teman membantu terwujudnya Majas Zine ini.
Demikian sekapursirih kami. Semoga kita semua, siapa saja, saat apa saja, di mana saja, kapan saja, dan bagaimana saja, senantiasa dalam lindungan Tuhan YME. Aamiin…
Akhir kata; Karena Kata adalah Senjata. Karena Menulis adalah Keberanian.
Salam Majas,
Download Majas Zine Disini
Sabtu, 03 Januari 2015
INDONESIA KECIL ITU ADA DI SOLO
INDONESIA KECIL ITU ADA DI SOLO.
Manggala :
Bukan suatu kebetulan dan rentetan rekayasa,
peristiwa-pertiwa yang terjadi yang saya tulis ini.
Semoga tulisan ini tidak dimasukan ke dalam
persoalan mainstream, yaitu persoalan antara Joko Wi dan Prabowo
Tapi satu persoalan dari banyak persoalan yang ada di Indonesia.
Sanggar Teater RUANG.
Lemi, saudara kemanusiaanku!#1
Seperti layaknya pohon yang baru tumbuh,
Daun-daun hijau rindang
Bunga-bunga indah mekar
Buah-buah bermunculan segar.
Tahun 1995 teater RUANG waktu itu
Sanggup mendirikan sebuah sanggar
Di lahan kosong pereng Tanggul Danukusuman Solo
Bukan karena bantuan pemerintah
Tapi karena uang tabungan kami sendiri
Karena jerih keringat kami sendiri.
Seorang pemuda kampung
Bisa keliling dunia dan bergaji tinggi
Gara-gara teater RUANG ada di kampung Danukusuman Solo ini. #2
Seorang anak kampung
Berkesempatan jadi bintang film
Memerankan sebagai Joko Wi kecil
Gara-gara sanggar teater RUANG di dekat rumahnya. #3
Seorang mahasiswa menjadi aktor teater nasional gara-gara belajar tekun di sanggar teater RUANG. #4
Seorang mahasiswa swasta
Berhasil mengembangkan usahanya
Menjadi contoh pengusaha muda se Indonesia
Gara-gara belajar berdisiplin dan berdikari di sanggar teater RUANG Ini. #5
Bahkan seorang anak kampung
Bisa menjadi dokter karena memang bertolak dari kebaikan sanggar teater RUANG di kampungnya. #6
Sungguh sebuah pohon yang bermanfaat....
Orang-orang kampung selalu meminjam barang-barang yang diperlukan ke tempat sanggar dengan gratis.
Jika ada orang berkesusahan
Orang-orang kampung meminta bantuan untuk meringankan kesusahan itu ke sanggar teater RUANG.
Juga anak-anak jika kesulitan tugas sekolahnya mereka lari minta bantuan ke sanggar teater RUANG.
Sanggar menjadi pohon yang rindang
Berbunga indah dan berbuah segar, Lemi!
Buah haru yang membikin bergetar hatiku
Setelah 19 tahun bersanggar di kampung Danukusuman ini adalah:
Ketika seorang anak bernama Risky
Menyodorkan sebuah naskah tulisan tangannya sendiri kepada saya
Meski hanya naskah sederhana
Bercerita tentang keinginannya bercocok tanam
Tapi logika dialognya sungguh runtut dan membikin saya terkejut.
Anak seusia 9 tahun kelas 4 Sekolah Dasar
Belum fasih menulis, tapi mampu membuat naskah lakon!
Padahal saya baru bisa menulis naskah lakon ketika tahun 1990 waktu mahasiswa seusia 24 tahun.
Keberadaan sanggar mampu mempercepat kreatifitas seseorang.
Inilah buah haru yang mengharu biru hatiku!
Joko Wi dengan Joko Bibit
Lemi, saudara kemanusiaanku!
Masih ingat kau memilih saya dan teater RUANG untuk datang ke Welllington di New Zeland
dan mengundang Joko Wi Walikota Solo waktu itu untuk bertemu dengan Walikotamu?
Sekarang Walikota itu sudah jadi orang nomor satu di negeri ini,
dan saya bersama teater RUANG tetap menjadi orang pinggiran yang lewat kesenian dan kebudayaan membangun ruang kesadaran anak-anak menyalurkan kreatifitas berekpresinya
Agar anak-anak itu tidak mengekspresikan kemarahannya pada perkelahian, pada umpatan-umpatan kotor meniru sinetron televisi,
Atau agar tidak menyalurkan ekspresinya dengan bermain playstasion dan bermain di mall dari uang hasil mencuri di rumah sendiri atau rumah tetangganya,
agar mereka tidak menyalurkan kreatifitas berekspresinya lewat mabuk-mabukan minuman keras atau obat-obat terlarang.
Tidak!
Lewat teater mereka bisa mementaskan bagaimana mereka mengekspresikan kemarahannya menjadi itikad baik berkaitan mencintai tetumbuhan, mahkluk hidup lain, tentang kerukunan, persaudaraan dan sebagainya!
Yah, saya tetap memilih menjadi orang pinggiran seperti itu!
Seperti pilihan saya ketika menolak undanganmu untuk bersama Joko Wi menjadi delegasi Indonesia bekerja sama dengan negaramu!
Dan kini baru terbukti kebenaran alasan penolakan saya waktu itu!
Dari dulu saya tahu,
bahwa seorang Joko Wi, seorang walikota, seorang pejabat, bahkan ketika menjadi presidenpun selalu dan selalu memandang kesenian atau kebudayaan hanyalah sebagai pembarangan saja....aset saja!
Seorang seperti Joko Wi pasti akan lebih berpihak
pada Festival-Festival Besar dengan biaya besar dengan sendirinya!
Dia jelas tidak mungkin mau tahu atau mau disusahkan untuk tahu
meski berbiaya besar dan mengatas namakan kesenian dan kebudayaan,
tapi apa yang diterima si pelaku kesenian dan kebudayaan itu begitu kecil dan tak sebanding dengan jerih keringatnya dan tak sebanding dengan biaya besar festivalnya!
Seorang seperti Joko Bibit selalu tahu ketidak beresan itu di dalam realita kesenian dan kebudayaan masyarakat semacam itu!
Yah!
Seorang seperti Joko Wi jelas tidak mungkin bluksukan
Malam-malam ke kampung-kampung ke desa-desa
Mengikuti kelompok-kelompok kesenian akar rumput
Yang berlatih hingga tengah malam buta
Dengan kemiskinan yang ada
Tapi tetap semangat mempertahankan akar kebudayaan dan kesenian yang ada
Meski selalu dan selalu sekarat bahkan mati digerus keadaan!
Seorang seperti Joko Wi jelas pasti sudah merasa menghargai ketika bisa mengundang mereka dengan biaya tak sebanding dengan jerih payahnya!
Seorang seperti Joko Bibit selalu disadarkan oleh keterlibatan dengan mereka hingga tengah malam buta dan tak pernah merasa bisa menghargai dengan bentuk penghormatan apapun apalagi hanya berupa nilai materi/rupiah...saja.
Karena proses mereka, semangat mereka, daya bertahan mereka atas kebengisan keadaan yang menggerus akar kebudayaan dan kesenian mereka, sebenarnya tak bisa dinilai sebatas angka-angka!
Seorang Joko Bibit sadar akan itu dan seorang seperti Joko Wi tak pernah berusaha menyadari persoalan seperti itu!
Kesadaran seorang seperti Joko Wi adalah kesadaran aset, kesadaran pasar, kesadaran merebut secepatnya kesempatan untuk bertahan hidup.
Sebab itulah saya menolak untuk menjadi Delegasi Indonesia bersama Joko Wi waktu itu,
dan gara-gara penolakan itu kamu yang menjadi Ketua Panitya Acara Kerja Sama antar New Zeland dengan Indonesia, maka kamu bersama kelompok dan keluargamu harus rela diusir dari ibukota Wellington!
Lalu satu tahun kemudian, kamu ingin membuktikan apa benar keputusan yang kamu ambil bertolak dari penolakan saya waktu itu, dengan bertandang langsung ke sanggar Teater RUANG di Solo!
Hanya cukup 2 hari kamu ke sini, dan ketika melihat sanggar Teater RUANG dengan mata kepala sendiri, kamu nyatakan dengan ketetapan hati , bahwa kamu mau jadi “brother theatre’ dengan saya dan teater RUANG.
Seorang seperti kamu Lemi, dengan penuh kesadaran rela datang ke sanggar Teater RUANG hanya untuk menetapkan hati menjadi ‘saudara kemanusiaan’ dengan saya dan teater RUANG.
Seorang seperti Joko Wi tidak mungkin melakukan hal seperti itu, bahkan ketika menjabat Walikota Solo dua kali tak pernah sekalipun bertandang ke Teater RUANG, (padahal Solo hanyalah kota kecil), apalagi sekarang sudah menjadi presiden Indonesia! Tak mungkin itu terjadi jika tidak menjadi hal yang besar yang menguntungkan dirinya!
Itulah yang membedakan antara Joko Wi dengan Joko Bibit dan kamu Lemi!
Logika Berbalik.
Lemi, saudara kemanusiaanku!
Saya tak mampu menerjemahkan lagi bahasa Tuhan yang dibahasakan kepada saya dan kelompok Teater RUANG Surakarta.
Saya dirundung kecamuk tak berkesudahan, kerna logika penalaran tak pernah bisa menyentuh ruang kesadaran kemanusiaan masyarakat dan aparatur pemerintahan di negara saya.
Mereka lebih suka yang praktis dan yang menguntungkan saja, sesuatu proses dan sesuatu yang tidak lagi menguntungkan secara langsung rasanya menjadi keharusan yang harus ditinggalkan atau bahkan ditiadakan dalam realita kehidupan mereka.
Dulu saya dan kelompok teater RUANG sering mementaskan orang-orang yang digusur dan dihabisi!
Tapi sekarang saya dan teater RUANG mengalaminya sendiri!
Dan ternyata jauh-jauh sekali dari apa yang selama ini kita interpretasikan!
Jauh-jauh sekali menyakitkan!
Jauh-jauh sekali menyedihkan!
Bagaimana tidak jauh-jauh sekali menyakitkan...jauh-jauh sekali menyedihkan?
Bukan lantaran bangunannya yang harus diruntuhkan...
Bukan lantaran tempatnya yang harus diperbaiki....
bangunan dan tempat hanya wujud benda materi saja
tapi proses panjang, sejarah, fakta, peristiwa-peristiwa, kenangan, jerih payah, adalah sesuatu yang tidak bisa diukur dengan angka seperti materi....
ia melekat pada jiwa...melekat pada rasa...melekat pada hati
dan tiba-tiba harus digusur dan dihilangkan tanpa pertimbangan dan kebijakan yang matang atas nilai yang tidak bisa dinilai dengan angka itu...
Andai orang-orang yang menggusur dan menghabisi itu merasakan realita yang kami alami, apakah sebengis itu tindakan perlakuan yang akan diperbuat?
Agaknya televisi dan koran adalah alat yang paling canggih mematikan daya empati orang-orang itu, karena realita penggusuran dan pembantaian sering kali ditayangkan dengan jelas dan gamblang ...karena seringnya melihat seperti itu, maka peristiwa yang sebenarnya yang jauh-jauh menyakitkan...yang jauh-jauh menyedihkan itu jadi kurang menyakitkan dan menyedihkan lagi!
Orang-orang butuh peristiwa yang lebih bengis lagi rupanya!
Lemi, saudara kemanusiaanku!
Apakah tindakan semacam itu dibenarkan oleh kemanusiaan dimanapun berada?
Diskriminasi dan Intimidasi semu!
Awalnya anak-anak mereka sendiri dilarang bermain ke sanggar teater RUANG.
Bak seperti tempat yang menyebarkan penyakit atau membuat anak-anak mereka menjadi penjahat keji jika pulang dari tempat sanggar kami.
Bak menjadi tempat yang diharamkan secara sosial!
Tapi masih saja ada anak-anak yang tetap mau bermain bahkan berlatih teater di sanggar teater RUANG...
Pun membuat mereka lebih agresif
Lalu dengan mendekati anak-anak itu menghasut agar tidak bermain atau berlatih di sanggar teater RUANG.
Beberapa anak terpengaruh...beberapa anak tetap nekat bermain dan berlatih teater di sanggar!
Kenyataan itu membuat mereka lebih agresif lagi
lalu mempengaruhi orang tuanya agar tidak memperbolehkan anaknya bermain dan berlatih teater di sanggar teater RUANG.
Beberapa orang tua melarang anaknya...tinggal beberapa yang membiarkan anaknya tetap bermain dan berlatih teater di sanggar!
Hal itu semakin membikin emosi mereka!
Puncaknya salah satu dari mereka emosinal seperti orang kesurupan,
Hingga sampai memaki-maki seorang anak yang nekat bermain dan berlatih di sanggar, dengan alasan mencuri buah manggannya...umpatan kasar dan ancaman terlontar untuk Ridho anak umur 7 tahun. Padahal anak yang berbuat sudah lari pulang ke rumahnya.
Ah!
Pantaskah perlakuan semacam itu ditujukan ke anak-anak hanya gara-gara mereka ingin bermain dan berlatih di sanggar Teater RUANG?
Banyak sekali hal tidak pantas yang seharusnya dipertanyakan, tapi jelas akan menghabiskan ruangan untuk menuliskannya!
Kaum Oportunis
Orang-orang yang dulunya menyanjung-nyanjung keberadaan sanggar teater RUANG.
Bersikap ramah ketika mereka memerlukan kegiatan kesenian untuk lomba desa, untuk basar-basar dan acara-acara budaya di tingkat desa dan kota.
Wajah-wajah yang penuh senyum penuh ramah tamah ketika meminta sumbangan, ketika meminta bantuan ke sanggar.
Seketika bisa berubah dratis menjadi wajah-wajah serius dan tegas.
Seketika bisa berubah drastis menjadi wajah-wajah kemarahan dan mengintimidasi.
Ketika melihat sesuatu sudah layak menjadi korban. Ketika melihat sesuatu bisa dijadikan obyek atau proyek yang menguntungkan. Ketika melihat sesuatu menjadi minoritas yang tak memiliki massa dan kekuatan seperti mereka. Ketika melihat sesuatu menjadi lemah dan tengah lengah.
Terkam dan binasakan!
Wajah-wajah yang menunjukan batang hidung belangnya ketika melihat si obyek yaitu sanggar teater RUANG sudah saatnya dikorbankan!
Wajah-wajah orang-orang seperti ini selalu bisa meraup keuntungan dari semua peristiwa dengan dalih dan segala upaya memutar balikan fakta, bersembunyi dibalik trend-trend, slogan-slogan, jargon-jargon yang tengah hangat di masyarakat dan zamannya.
Dengan dalih atas nama masyarakat banyak yang sudah tidak suka dengan sanggar, karena kumuh, karena menjadi tempat membolos anak-anak, menjadi tempat mabuk-mabuk dan tempat mesum seperti dituduhkan masyarakat, seperti yang diberitakan koran-koran, maka sanggar teater RUANG pantas untuk dibersikan diratakan dengan tanah untuk diganti dengan bangunan baru, bangunan terbuka hijau. Seperti yang dicanangkan sebagai program pemerintah.
Nyatalah sekarang, Lemi saudara kemanusiaanku!
Jadi yang selama ini kejadian-kejadian diskriminasi dan intimidasi terhadap sanggar Teater RUANG ujung ceritanya memang harus digusur dan diratakan tanah!
Itikadnya bahwa sanggar Teater RUANG adalah peluang menjadi proyek yang menguntungkan bagi wajah-wajah orang-orang seperti itu! Kaum oportunis!
Perbuatan keji seperti itu, cara-cara tak manusiawi seperti itu, apakah seorang seperti Joko Wi mengetahui dan berusaha mencari tahu apa yang terjadi?
Apakah seorang seperti Joko Wi menyadari nasib buruk yang menimpa kebudayaan akar rumput seperti kami, sebetulnya bertolak dari perbuatan tak senonoh oleh orang-orang oportunis semacam itu?
Apakah seorang seperti Joko Wi menyadari bahwa kelompok kesenian dan kebudayaan akar rumput bisa dengan mudah ditunggangi selalu untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya yang tak mudah terendus oleh KPK (Komite Pemberantasan Korupsi) sebagai cara-cara korupsi melalui event-event besar festival dan kegiatan budaya?
Apakah seorang seperti Joko Wi mengerti begitu julik dan pintarnya mereka kaum oportunis itu memutar balikkan fakta menjadikan sanggar Teater RUANG menjadi korban dan obyek proyekan baru yang bisa menguntungkan mereka?
Seorang seperti Joko Wi adalah Walikota, Gubernur dan Presiden, penanggung jawab dan penentu keadaan di manapun tempat di Indonesia berada. Tak semestinya tinggal diam atas perbuatan-perbuatan kaum oportunis yang seperti itu di manapun tempat di wilayah Indonesia.
Dan Indonesia kecil itu ada di Solo!
Di mana Solo tempat Joko Wi Berasal. Dimana Solo tempat Joko Wi menjadi Walikota, lalu menjadi Gubernur dan menjadi Presiden Indonesia.
Pohon itu!
Lemi, saudara kemanusiaanku!
Seumpama sebuah pohon, sanggar Teater RUANG Solo, adalah pohon yang sudah tumbuh berkembang dengan rindang, dengan bunga-bunga yang indah dan buah-buah yang segar.
Sebagai sebuah pohon yang bertahun-tahun, lebih tepatnya 19 tahun, senantiasa menebarkan oksigen udara segar untuk bernafasnya hidup dan kehiduapan di sekitarnya.
Sebagai sebuah pohon yang bertahun-tahun, lebih tepatnya 19 tahun, kerindangannya meneduhi dari panas terik dan hujan segala sesuatu yang berteduh di bawahnya.
Bak seperti juga pohon-pohon yang puluhan tahun bahkan ratusan tahun, menebarkan oksigen udara segar dan meneduhi, yang sudah pasti dimiliki di setiap desa di Indonesia sebagai pohon Pedhanyangan atau Pohon Cikal Bakal.
Harus ditebang atas nama musrik, atas nama pembangunan jalan, atas nama kebersihan, atau atas nama kepentingan sesaat lainnya, tanpa mempertimbangan bertahun-tahun, berpuluh tahun bahkan beratus tahun nilai kegunaan keberadaan sebuah pohon itu, sungguh ironis keputusan penebangan yang terjadi!
Lemi Ponafasio, saudara kemanusiaanku!
Ini bukan kisah drama atau kisah lakon rekaan saya!
Bahkan Tulisan ini sangat jauh dari utuh untuk memaparkan kesakitan dan kesedihan yang ada!
Sebab kesakitan dan kesedihan itu adalah cucuran keringat, air mata bahkan darah yang tidak bisa ditampung dalam kata-kata, apalagi mengukurnya dengan angka-angka!
Semoga engkau dan dunia mengerti!
Solo, 5 November 2014
Joko Bibit Santoso
Keterangan :
#1. Lemi Ponafasio, seorang pemimpin Suku SAMOA sekaligus Sutradara Teater Dunia yang berasal dari Kelompok Teater MAU FORUM di New Zeland. Tahun 2009 sebagai Ketua Panitya untuk Forum Kerjasama antara New Zeland dengan Indonesia, yang akhirnya membatalkan peristiwa itu ketika mengetahui alasan Joko Bibit Santoso yang menolak menjadi salah satu dari delegasi Indonesia. Keputusan itu membuat di, bersama kelompok MAU FORUM dan keluarganya diusir dari ibukota Wellington oleh Pemerintahan New Zeland. Tahun 2010 bertandang ke sanggar Teater RUANG Solo, dari kunjungannya itu dia semakin yakin bahwa apa yang selama ini dia sudah putuskan adalah benar. Dan dia menyatakan diri sebagai “Brother Theatre” dengan Joko Bibit Santoso dan teater Ruang Solo. Sepulangnya ke New Zeland dia dengan bangga mendirikan sanggar yang menyerupai sanggar Teater RUANG Solo di daerah asalnya di Suku SAMOA.
#2. Lanjar Sarwanto, seorang anak kampung Dawung Wetan, lulusan SMA, anggota Teater RUANG tahun 1999 dikontrak Teater Dunia dari Perancis, yaitu kelompok TALIPOT ikut pentas keliling dunia dengan sutradara : Baldini.
#3.Ilham Ridho Illahi, anak umur 7 tahun anggota teater RUANG yang menjadi pemeran Joko Wi kecil dalam film : JOKO WI dengan sutradara : Azhar Kinoi Lubis, Produksi : K2K Pictures
#4 Rony Novianto, anggota Teater RUANG menjadi Aktor di Pekan Teater Mahsiswa di Bandung tahun 1996.
#5. Novianto, anggota teater RUANG yang menjadi pengusaha Perusahaan Keju Indrakila di Boyolali Jawa Tengah. Tahun 2011 meraih penghargaan “Satu Indonesia Award’ dari Astra dan beberapa kali masuk di acara televisi nasional “Kick Andy” Metro TV.
#6. Atma Sanggani Tunikasari, tahun 2014 meraih gelar Sarjana Kedokteran di Universitas Sebelas Maret Surakarta, anak dari Joko Bibit Santoso yang tidak pernah berkerja dengan jelas selain total untuk kegiatan sosial dan kebudayaan di Teater RUANG Solo dan Komunitas Tanggul Budaya, tapi telah berhasil mendidik anaknya hingga lulus sarjana kedokteran. Biaya besar menempuh kedokteran itu bisa dilalui tanpa meminta bantuan orang lain kecuali Tuhan Yang Maha Esa.
Upacara 'nggantungke tuntut'!
'tuntut' pucuk bunga pisang/jantung pisang adalah simbol yang dimiliki rakyat biasa dalam budaya Jawa jika menuntut keadilan...
(JOKO BIBIT SANTOSO, SOLO 21 DESEMBER 2014)
Manggala :
Bukan suatu kebetulan dan rentetan rekayasa,
peristiwa-pertiwa yang terjadi yang saya tulis ini.
Semoga tulisan ini tidak dimasukan ke dalam
persoalan mainstream, yaitu persoalan antara Joko Wi dan Prabowo
Tapi satu persoalan dari banyak persoalan yang ada di Indonesia.
Sanggar Teater RUANG.
Lemi, saudara kemanusiaanku!#1
Seperti layaknya pohon yang baru tumbuh,
Daun-daun hijau rindang
Bunga-bunga indah mekar
Buah-buah bermunculan segar.
Tahun 1995 teater RUANG waktu itu
Sanggup mendirikan sebuah sanggar
Di lahan kosong pereng Tanggul Danukusuman Solo
Bukan karena bantuan pemerintah
Tapi karena uang tabungan kami sendiri
Karena jerih keringat kami sendiri.
Seorang pemuda kampung
Bisa keliling dunia dan bergaji tinggi
Gara-gara teater RUANG ada di kampung Danukusuman Solo ini. #2
Seorang anak kampung
Berkesempatan jadi bintang film
Memerankan sebagai Joko Wi kecil
Gara-gara sanggar teater RUANG di dekat rumahnya. #3
Seorang mahasiswa menjadi aktor teater nasional gara-gara belajar tekun di sanggar teater RUANG. #4
Seorang mahasiswa swasta
Berhasil mengembangkan usahanya
Menjadi contoh pengusaha muda se Indonesia
Gara-gara belajar berdisiplin dan berdikari di sanggar teater RUANG Ini. #5
Bahkan seorang anak kampung
Bisa menjadi dokter karena memang bertolak dari kebaikan sanggar teater RUANG di kampungnya. #6
Sungguh sebuah pohon yang bermanfaat....
Orang-orang kampung selalu meminjam barang-barang yang diperlukan ke tempat sanggar dengan gratis.
Jika ada orang berkesusahan
Orang-orang kampung meminta bantuan untuk meringankan kesusahan itu ke sanggar teater RUANG.
Juga anak-anak jika kesulitan tugas sekolahnya mereka lari minta bantuan ke sanggar teater RUANG.
Sanggar menjadi pohon yang rindang
Berbunga indah dan berbuah segar, Lemi!
Buah haru yang membikin bergetar hatiku
Setelah 19 tahun bersanggar di kampung Danukusuman ini adalah:
Ketika seorang anak bernama Risky
Menyodorkan sebuah naskah tulisan tangannya sendiri kepada saya
Meski hanya naskah sederhana
Bercerita tentang keinginannya bercocok tanam
Tapi logika dialognya sungguh runtut dan membikin saya terkejut.
Anak seusia 9 tahun kelas 4 Sekolah Dasar
Belum fasih menulis, tapi mampu membuat naskah lakon!
Padahal saya baru bisa menulis naskah lakon ketika tahun 1990 waktu mahasiswa seusia 24 tahun.
Keberadaan sanggar mampu mempercepat kreatifitas seseorang.
Inilah buah haru yang mengharu biru hatiku!
Joko Wi dengan Joko Bibit
Lemi, saudara kemanusiaanku!
Masih ingat kau memilih saya dan teater RUANG untuk datang ke Welllington di New Zeland
dan mengundang Joko Wi Walikota Solo waktu itu untuk bertemu dengan Walikotamu?
Sekarang Walikota itu sudah jadi orang nomor satu di negeri ini,
dan saya bersama teater RUANG tetap menjadi orang pinggiran yang lewat kesenian dan kebudayaan membangun ruang kesadaran anak-anak menyalurkan kreatifitas berekpresinya
Agar anak-anak itu tidak mengekspresikan kemarahannya pada perkelahian, pada umpatan-umpatan kotor meniru sinetron televisi,
Atau agar tidak menyalurkan ekspresinya dengan bermain playstasion dan bermain di mall dari uang hasil mencuri di rumah sendiri atau rumah tetangganya,
agar mereka tidak menyalurkan kreatifitas berekspresinya lewat mabuk-mabukan minuman keras atau obat-obat terlarang.
Tidak!
Lewat teater mereka bisa mementaskan bagaimana mereka mengekspresikan kemarahannya menjadi itikad baik berkaitan mencintai tetumbuhan, mahkluk hidup lain, tentang kerukunan, persaudaraan dan sebagainya!
Yah, saya tetap memilih menjadi orang pinggiran seperti itu!
Seperti pilihan saya ketika menolak undanganmu untuk bersama Joko Wi menjadi delegasi Indonesia bekerja sama dengan negaramu!
Dan kini baru terbukti kebenaran alasan penolakan saya waktu itu!
Dari dulu saya tahu,
bahwa seorang Joko Wi, seorang walikota, seorang pejabat, bahkan ketika menjadi presidenpun selalu dan selalu memandang kesenian atau kebudayaan hanyalah sebagai pembarangan saja....aset saja!
Seorang seperti Joko Wi pasti akan lebih berpihak
pada Festival-Festival Besar dengan biaya besar dengan sendirinya!
Dia jelas tidak mungkin mau tahu atau mau disusahkan untuk tahu
meski berbiaya besar dan mengatas namakan kesenian dan kebudayaan,
tapi apa yang diterima si pelaku kesenian dan kebudayaan itu begitu kecil dan tak sebanding dengan jerih keringatnya dan tak sebanding dengan biaya besar festivalnya!
Seorang seperti Joko Bibit selalu tahu ketidak beresan itu di dalam realita kesenian dan kebudayaan masyarakat semacam itu!
Yah!
Seorang seperti Joko Wi jelas tidak mungkin bluksukan
Malam-malam ke kampung-kampung ke desa-desa
Mengikuti kelompok-kelompok kesenian akar rumput
Yang berlatih hingga tengah malam buta
Dengan kemiskinan yang ada
Tapi tetap semangat mempertahankan akar kebudayaan dan kesenian yang ada
Meski selalu dan selalu sekarat bahkan mati digerus keadaan!
Seorang seperti Joko Wi jelas pasti sudah merasa menghargai ketika bisa mengundang mereka dengan biaya tak sebanding dengan jerih payahnya!
Seorang seperti Joko Bibit selalu disadarkan oleh keterlibatan dengan mereka hingga tengah malam buta dan tak pernah merasa bisa menghargai dengan bentuk penghormatan apapun apalagi hanya berupa nilai materi/rupiah...saja.
Karena proses mereka, semangat mereka, daya bertahan mereka atas kebengisan keadaan yang menggerus akar kebudayaan dan kesenian mereka, sebenarnya tak bisa dinilai sebatas angka-angka!
Seorang Joko Bibit sadar akan itu dan seorang seperti Joko Wi tak pernah berusaha menyadari persoalan seperti itu!
Kesadaran seorang seperti Joko Wi adalah kesadaran aset, kesadaran pasar, kesadaran merebut secepatnya kesempatan untuk bertahan hidup.
Sebab itulah saya menolak untuk menjadi Delegasi Indonesia bersama Joko Wi waktu itu,
dan gara-gara penolakan itu kamu yang menjadi Ketua Panitya Acara Kerja Sama antar New Zeland dengan Indonesia, maka kamu bersama kelompok dan keluargamu harus rela diusir dari ibukota Wellington!
Lalu satu tahun kemudian, kamu ingin membuktikan apa benar keputusan yang kamu ambil bertolak dari penolakan saya waktu itu, dengan bertandang langsung ke sanggar Teater RUANG di Solo!
Hanya cukup 2 hari kamu ke sini, dan ketika melihat sanggar Teater RUANG dengan mata kepala sendiri, kamu nyatakan dengan ketetapan hati , bahwa kamu mau jadi “brother theatre’ dengan saya dan teater RUANG.
Seorang seperti kamu Lemi, dengan penuh kesadaran rela datang ke sanggar Teater RUANG hanya untuk menetapkan hati menjadi ‘saudara kemanusiaan’ dengan saya dan teater RUANG.
Seorang seperti Joko Wi tidak mungkin melakukan hal seperti itu, bahkan ketika menjabat Walikota Solo dua kali tak pernah sekalipun bertandang ke Teater RUANG, (padahal Solo hanyalah kota kecil), apalagi sekarang sudah menjadi presiden Indonesia! Tak mungkin itu terjadi jika tidak menjadi hal yang besar yang menguntungkan dirinya!
Itulah yang membedakan antara Joko Wi dengan Joko Bibit dan kamu Lemi!
Logika Berbalik.
Lemi, saudara kemanusiaanku!
Saya tak mampu menerjemahkan lagi bahasa Tuhan yang dibahasakan kepada saya dan kelompok Teater RUANG Surakarta.
Saya dirundung kecamuk tak berkesudahan, kerna logika penalaran tak pernah bisa menyentuh ruang kesadaran kemanusiaan masyarakat dan aparatur pemerintahan di negara saya.
Mereka lebih suka yang praktis dan yang menguntungkan saja, sesuatu proses dan sesuatu yang tidak lagi menguntungkan secara langsung rasanya menjadi keharusan yang harus ditinggalkan atau bahkan ditiadakan dalam realita kehidupan mereka.
Dulu saya dan kelompok teater RUANG sering mementaskan orang-orang yang digusur dan dihabisi!
Tapi sekarang saya dan teater RUANG mengalaminya sendiri!
Dan ternyata jauh-jauh sekali dari apa yang selama ini kita interpretasikan!
Jauh-jauh sekali menyakitkan!
Jauh-jauh sekali menyedihkan!
Bagaimana tidak jauh-jauh sekali menyakitkan...jauh-jauh sekali menyedihkan?
Bukan lantaran bangunannya yang harus diruntuhkan...
Bukan lantaran tempatnya yang harus diperbaiki....
bangunan dan tempat hanya wujud benda materi saja
tapi proses panjang, sejarah, fakta, peristiwa-peristiwa, kenangan, jerih payah, adalah sesuatu yang tidak bisa diukur dengan angka seperti materi....
ia melekat pada jiwa...melekat pada rasa...melekat pada hati
dan tiba-tiba harus digusur dan dihilangkan tanpa pertimbangan dan kebijakan yang matang atas nilai yang tidak bisa dinilai dengan angka itu...
Andai orang-orang yang menggusur dan menghabisi itu merasakan realita yang kami alami, apakah sebengis itu tindakan perlakuan yang akan diperbuat?
Agaknya televisi dan koran adalah alat yang paling canggih mematikan daya empati orang-orang itu, karena realita penggusuran dan pembantaian sering kali ditayangkan dengan jelas dan gamblang ...karena seringnya melihat seperti itu, maka peristiwa yang sebenarnya yang jauh-jauh menyakitkan...yang jauh-jauh menyedihkan itu jadi kurang menyakitkan dan menyedihkan lagi!
Orang-orang butuh peristiwa yang lebih bengis lagi rupanya!
Lemi, saudara kemanusiaanku!
Apakah tindakan semacam itu dibenarkan oleh kemanusiaan dimanapun berada?
Diskriminasi dan Intimidasi semu!
Awalnya anak-anak mereka sendiri dilarang bermain ke sanggar teater RUANG.
Bak seperti tempat yang menyebarkan penyakit atau membuat anak-anak mereka menjadi penjahat keji jika pulang dari tempat sanggar kami.
Bak menjadi tempat yang diharamkan secara sosial!
Tapi masih saja ada anak-anak yang tetap mau bermain bahkan berlatih teater di sanggar teater RUANG...
Pun membuat mereka lebih agresif
Lalu dengan mendekati anak-anak itu menghasut agar tidak bermain atau berlatih di sanggar teater RUANG.
Beberapa anak terpengaruh...beberapa anak tetap nekat bermain dan berlatih teater di sanggar!
Kenyataan itu membuat mereka lebih agresif lagi
lalu mempengaruhi orang tuanya agar tidak memperbolehkan anaknya bermain dan berlatih teater di sanggar teater RUANG.
Beberapa orang tua melarang anaknya...tinggal beberapa yang membiarkan anaknya tetap bermain dan berlatih teater di sanggar!
Hal itu semakin membikin emosi mereka!
Puncaknya salah satu dari mereka emosinal seperti orang kesurupan,
Hingga sampai memaki-maki seorang anak yang nekat bermain dan berlatih di sanggar, dengan alasan mencuri buah manggannya...umpatan kasar dan ancaman terlontar untuk Ridho anak umur 7 tahun. Padahal anak yang berbuat sudah lari pulang ke rumahnya.
Ah!
Pantaskah perlakuan semacam itu ditujukan ke anak-anak hanya gara-gara mereka ingin bermain dan berlatih di sanggar Teater RUANG?
Banyak sekali hal tidak pantas yang seharusnya dipertanyakan, tapi jelas akan menghabiskan ruangan untuk menuliskannya!
Kaum Oportunis
Orang-orang yang dulunya menyanjung-nyanjung keberadaan sanggar teater RUANG.
Bersikap ramah ketika mereka memerlukan kegiatan kesenian untuk lomba desa, untuk basar-basar dan acara-acara budaya di tingkat desa dan kota.
Wajah-wajah yang penuh senyum penuh ramah tamah ketika meminta sumbangan, ketika meminta bantuan ke sanggar.
Seketika bisa berubah dratis menjadi wajah-wajah serius dan tegas.
Seketika bisa berubah drastis menjadi wajah-wajah kemarahan dan mengintimidasi.
Ketika melihat sesuatu sudah layak menjadi korban. Ketika melihat sesuatu bisa dijadikan obyek atau proyek yang menguntungkan. Ketika melihat sesuatu menjadi minoritas yang tak memiliki massa dan kekuatan seperti mereka. Ketika melihat sesuatu menjadi lemah dan tengah lengah.
Terkam dan binasakan!
Wajah-wajah yang menunjukan batang hidung belangnya ketika melihat si obyek yaitu sanggar teater RUANG sudah saatnya dikorbankan!
Wajah-wajah orang-orang seperti ini selalu bisa meraup keuntungan dari semua peristiwa dengan dalih dan segala upaya memutar balikan fakta, bersembunyi dibalik trend-trend, slogan-slogan, jargon-jargon yang tengah hangat di masyarakat dan zamannya.
Dengan dalih atas nama masyarakat banyak yang sudah tidak suka dengan sanggar, karena kumuh, karena menjadi tempat membolos anak-anak, menjadi tempat mabuk-mabuk dan tempat mesum seperti dituduhkan masyarakat, seperti yang diberitakan koran-koran, maka sanggar teater RUANG pantas untuk dibersikan diratakan dengan tanah untuk diganti dengan bangunan baru, bangunan terbuka hijau. Seperti yang dicanangkan sebagai program pemerintah.
Nyatalah sekarang, Lemi saudara kemanusiaanku!
Jadi yang selama ini kejadian-kejadian diskriminasi dan intimidasi terhadap sanggar Teater RUANG ujung ceritanya memang harus digusur dan diratakan tanah!
Itikadnya bahwa sanggar Teater RUANG adalah peluang menjadi proyek yang menguntungkan bagi wajah-wajah orang-orang seperti itu! Kaum oportunis!
Perbuatan keji seperti itu, cara-cara tak manusiawi seperti itu, apakah seorang seperti Joko Wi mengetahui dan berusaha mencari tahu apa yang terjadi?
Apakah seorang seperti Joko Wi menyadari nasib buruk yang menimpa kebudayaan akar rumput seperti kami, sebetulnya bertolak dari perbuatan tak senonoh oleh orang-orang oportunis semacam itu?
Apakah seorang seperti Joko Wi menyadari bahwa kelompok kesenian dan kebudayaan akar rumput bisa dengan mudah ditunggangi selalu untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya yang tak mudah terendus oleh KPK (Komite Pemberantasan Korupsi) sebagai cara-cara korupsi melalui event-event besar festival dan kegiatan budaya?
Apakah seorang seperti Joko Wi mengerti begitu julik dan pintarnya mereka kaum oportunis itu memutar balikkan fakta menjadikan sanggar Teater RUANG menjadi korban dan obyek proyekan baru yang bisa menguntungkan mereka?
Seorang seperti Joko Wi adalah Walikota, Gubernur dan Presiden, penanggung jawab dan penentu keadaan di manapun tempat di Indonesia berada. Tak semestinya tinggal diam atas perbuatan-perbuatan kaum oportunis yang seperti itu di manapun tempat di wilayah Indonesia.
Dan Indonesia kecil itu ada di Solo!
Di mana Solo tempat Joko Wi Berasal. Dimana Solo tempat Joko Wi menjadi Walikota, lalu menjadi Gubernur dan menjadi Presiden Indonesia.
Pohon itu!
Lemi, saudara kemanusiaanku!
Seumpama sebuah pohon, sanggar Teater RUANG Solo, adalah pohon yang sudah tumbuh berkembang dengan rindang, dengan bunga-bunga yang indah dan buah-buah yang segar.
Sebagai sebuah pohon yang bertahun-tahun, lebih tepatnya 19 tahun, senantiasa menebarkan oksigen udara segar untuk bernafasnya hidup dan kehiduapan di sekitarnya.
Sebagai sebuah pohon yang bertahun-tahun, lebih tepatnya 19 tahun, kerindangannya meneduhi dari panas terik dan hujan segala sesuatu yang berteduh di bawahnya.
Bak seperti juga pohon-pohon yang puluhan tahun bahkan ratusan tahun, menebarkan oksigen udara segar dan meneduhi, yang sudah pasti dimiliki di setiap desa di Indonesia sebagai pohon Pedhanyangan atau Pohon Cikal Bakal.
Harus ditebang atas nama musrik, atas nama pembangunan jalan, atas nama kebersihan, atau atas nama kepentingan sesaat lainnya, tanpa mempertimbangan bertahun-tahun, berpuluh tahun bahkan beratus tahun nilai kegunaan keberadaan sebuah pohon itu, sungguh ironis keputusan penebangan yang terjadi!
Lemi Ponafasio, saudara kemanusiaanku!
Ini bukan kisah drama atau kisah lakon rekaan saya!
Bahkan Tulisan ini sangat jauh dari utuh untuk memaparkan kesakitan dan kesedihan yang ada!
Sebab kesakitan dan kesedihan itu adalah cucuran keringat, air mata bahkan darah yang tidak bisa ditampung dalam kata-kata, apalagi mengukurnya dengan angka-angka!
Semoga engkau dan dunia mengerti!
Solo, 5 November 2014
Joko Bibit Santoso
Keterangan :
#1. Lemi Ponafasio, seorang pemimpin Suku SAMOA sekaligus Sutradara Teater Dunia yang berasal dari Kelompok Teater MAU FORUM di New Zeland. Tahun 2009 sebagai Ketua Panitya untuk Forum Kerjasama antara New Zeland dengan Indonesia, yang akhirnya membatalkan peristiwa itu ketika mengetahui alasan Joko Bibit Santoso yang menolak menjadi salah satu dari delegasi Indonesia. Keputusan itu membuat di, bersama kelompok MAU FORUM dan keluarganya diusir dari ibukota Wellington oleh Pemerintahan New Zeland. Tahun 2010 bertandang ke sanggar Teater RUANG Solo, dari kunjungannya itu dia semakin yakin bahwa apa yang selama ini dia sudah putuskan adalah benar. Dan dia menyatakan diri sebagai “Brother Theatre” dengan Joko Bibit Santoso dan teater Ruang Solo. Sepulangnya ke New Zeland dia dengan bangga mendirikan sanggar yang menyerupai sanggar Teater RUANG Solo di daerah asalnya di Suku SAMOA.
#2. Lanjar Sarwanto, seorang anak kampung Dawung Wetan, lulusan SMA, anggota Teater RUANG tahun 1999 dikontrak Teater Dunia dari Perancis, yaitu kelompok TALIPOT ikut pentas keliling dunia dengan sutradara : Baldini.
#3.Ilham Ridho Illahi, anak umur 7 tahun anggota teater RUANG yang menjadi pemeran Joko Wi kecil dalam film : JOKO WI dengan sutradara : Azhar Kinoi Lubis, Produksi : K2K Pictures
#4 Rony Novianto, anggota Teater RUANG menjadi Aktor di Pekan Teater Mahsiswa di Bandung tahun 1996.
#5. Novianto, anggota teater RUANG yang menjadi pengusaha Perusahaan Keju Indrakila di Boyolali Jawa Tengah. Tahun 2011 meraih penghargaan “Satu Indonesia Award’ dari Astra dan beberapa kali masuk di acara televisi nasional “Kick Andy” Metro TV.
#6. Atma Sanggani Tunikasari, tahun 2014 meraih gelar Sarjana Kedokteran di Universitas Sebelas Maret Surakarta, anak dari Joko Bibit Santoso yang tidak pernah berkerja dengan jelas selain total untuk kegiatan sosial dan kebudayaan di Teater RUANG Solo dan Komunitas Tanggul Budaya, tapi telah berhasil mendidik anaknya hingga lulus sarjana kedokteran. Biaya besar menempuh kedokteran itu bisa dilalui tanpa meminta bantuan orang lain kecuali Tuhan Yang Maha Esa.


'tuntut' pucuk bunga pisang/jantung pisang adalah simbol yang dimiliki rakyat biasa dalam budaya Jawa jika menuntut keadilan...
(JOKO BIBIT SANTOSO, SOLO 21 DESEMBER 2014)
Langganan:
Postingan (Atom)