Kepulan asap dan segelas nira yang temaniku dalam kotak ini..
Tak ada alasan untuk memanjakan malam, berdiam diri lebih nyaman..
Namun aroma durja tak jua bisa ku hindari..
Kendati demikian air mata langit beriku senyuman..
Ada riang diantara jatuhan air hujan..
Terlihat menyenangkan..
Mereka serupa penghuni surga dalam novel yang kubaca..
Namun ini surga firdaus, bukan taman langit dan mereka hanya anak bumi..
Mereka berhenti tertawa setelah teriakan lantang setengah memaki menyuruhnya untuk pulang..
Keriangan sesaat, ya temporary seperti keberadaan setiap insan di muka bumi..
Pulang.. Ya kata pulang adalah kata yang jarang kutemui lagi..
Apalagi terdengar dari mulut ibu yang bersuara merdu..
Ataupun dari ayah yang lantang dan gagah..
Ya.. Delusi di antara jejatuhan hujan..
Masa kecil yang indah..
Canda gurau diruang tengah..
Menangis manja meminta tidur ditemani..
Malam malam yang hangat.. Erat dan bersahabat..
Ya.. Masa kecil yang singkat namun kan selalu teringat..
Minggu, 07 Desember 2014
Kolektifitas Bukanlah Tentang Finansial Saja
Kolektif adalah kata yang sering kita ucap dan dengar dalam scene saat
beremuk untuk sekedar berbagi cerita ataupun memobilisasi waktu luang
agar tidak menjenuhkan. Dalam setiap gigs yang kita adakan kata kolektif
selalu kita sematkan untuk memberitahukan pada semua band yang ingin
terlibat dalam gigs diberikan kewajiban dan hal yang setara. Namun
sesungguhnya makna kolektif tidak tersampaikan dengan baik, ya ada
kesalah pahaman atau mungkin kebodohan dalam menanggapi. Kolektif yang
kita maksud dalam scene d.i.y bukanlah tentang uang semata tapi tentang
tanggung jawab dalam berlangsungnya gigs kolektif itu sendiri, bila
kolektif kita artikan dalam segi semua bayar sama rata bukankah terlalu
materialistis.? Dan kita sadar betul bahwa tidak semua hal bisa ditukar
dengan uang, juga dimana kebersamaan kita bila yang kita bicarakan
temtang kesetaraan mengarah pada uang. Tak ada kebersamaan dalam
kolektifitas yang demikian, yang ada hanya antrian groupis yang ingin
manggung tanpa mau bekerja dan hanya ingin instan.
Sialnya akhir - akhir ini kebanyakan gigs yang mengatasnamakan kolektifitas berlangsung dengan jerih payah beberapa tangan saja, sisa tangan yang lainnya sibuk mengepal rokok, minuman keras, mic, gitar dan stick drym saja. Memuakan memang bila kita sadar betul menyaksikan seorang kawan sibuk membenahi peralatan untuk show kawannya namun kawannya itu tak hendak membantu. Apa yang salah dengan insureksi yang tak sekali duakali disampaikan.? Realitanya berbagi dengan orang yang menolak revolusi diri sangatlah memuakan. Tapi insureksi tetaplah harus disampaikan, itulah mengapa saya katakan satir menjadi martil bila yang ditimpai tak juga ada perubahan.
Tak ada yang ingin disampaikan lagi selain kolektifitas bukanlah tentang uang, melainkan kesetaraan dalam kebersamaan. Long life comradz..
Sialnya akhir - akhir ini kebanyakan gigs yang mengatasnamakan kolektifitas berlangsung dengan jerih payah beberapa tangan saja, sisa tangan yang lainnya sibuk mengepal rokok, minuman keras, mic, gitar dan stick drym saja. Memuakan memang bila kita sadar betul menyaksikan seorang kawan sibuk membenahi peralatan untuk show kawannya namun kawannya itu tak hendak membantu. Apa yang salah dengan insureksi yang tak sekali duakali disampaikan.? Realitanya berbagi dengan orang yang menolak revolusi diri sangatlah memuakan. Tapi insureksi tetaplah harus disampaikan, itulah mengapa saya katakan satir menjadi martil bila yang ditimpai tak juga ada perubahan.
Tak ada yang ingin disampaikan lagi selain kolektifitas bukanlah tentang uang, melainkan kesetaraan dalam kebersamaan. Long life comradz..
Pemikiran "KOLOT" Hanya Mewariskan Kemonotonan
Pada malam - malam dimana saya masih terjaga dan enggan memejamkan
mata sering terlintas beberapa celotehan yang agak mencubit dada, dan
kebanyakan adalah perkataan yang menyudutkan saya pada eksistensi
nihilis. Serupa pembicaraan bersama kawan, orang sekampung ataupun
mereka yang baru saya kenal, tentu saja bukan karena saya selalu membuka
pembicaraan tentang bidang politik ataupun serupanya tapi mungkin
karena hal - hal yang menyangkut pemerintahan dan kenegaraan memang
sudah lumrah dan umu untuk dibicarakan. Perkataan yang selalu membayang
di sela waktu sebelum tidur adalah kata "apa sih gunanya demo, mau
teriak sampai pita suara putuspun tak mengubah apapun.?" atau "alah,
perlawanan apaan lah.. ga ada yang bisa melawan pemerintah, kita cukup
menikmati aja.. toh melawan juga ga bikin kaya.." juga "dasar anak muda
jaman sekarang, demo - demo eh malah ngerusak fasilitas umum.."
perkataan tersebut hanya beberapa celotehan, masih banyak lagi bila saya
sebutkan semua.
Pertama mungkin tentang aksi demo, ketahuilah
bahwa aksi demo bukanlah aksi yang mengubah suatu hal dengan instan
karena para aktivis bukanlah dewa ataupun Tuhan yang dapat merubah suatu
hal hanya dengan satu kalimat kala berkehendak. Sejatinya aksi demo itu
sendiri bukan sekedar aksi menuntut pembenahan, pembatalan ataupun
keadilan semata. Ada hal penting lainnya selain hal hal tersebut, yaitu
peringatan kepada pemerintah bahwa ada yang salah dengan sistem,
perundang - undangan ataupun keputusan yang mereka buat. Untuk apa
peringatan itu ? tentu saja agar kita sebagai rakyat mendapatkan
kelayakan sebagaimana hak kita sebagai rakyat yang memiliki kedaulatan
tertinggi di negara ini. Dan tentu saja pemerintahpun tak boleh
meutuskan suatu hal seenak jidad, pemerintah harus meulek juga
terhadap kondisi sosial, perekonomian rakyatnya karena gunanya
pemerintah bukanlah untuk memerintah dan membuat peraturan melainkan
menjaga kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya dengan begitu akan
terciptalah kedamaian.
Kedua tentang perlawanan, kenapa harus
melawan.? melawan adalah insting membela diri, karena ada sebab
musababnya. Ketika seseorang berada dalam keadaan terdesak, terancam,
tertindas dan sebagainya, rasa untuk membela diri tentu saja akan muncul
dan kemudian dengan adanya dorongan keberanian munculah aksi balasan
atau melawan secara reflek. Nah, apa kita menagih hasil ataupun bentuk
timbal balik lainnya setelah melawan.? tidak ada, hanya ada aksi "saling melawan"
atau sebut saja pergesekan dalam perihal ini. Demikian pula dengan aksi
- aksi yang kami lakukan, kami melakukan perlawanan karena ada yang
tertindas, ada yang tak dapati keadilan, ada yang terancam dan
perlawanan sesungguhnya serupa panggilan jiwa, sebut saja saya sakit
jiwa jika kalian anggap demikian namun kenyataannya demikian. Kita
memang memerlukan perlawanan, mungkin kebanyakan orang memilih
perlawanan untuk ancaman yang datang pada dirinya sendiri, sebut saja
mengindividualismekan diri dalam perihal melawan. Namun sejujurnya saya
tidak bisa menahan diri untuk setiap penindasan - penindasan,
pelanggaran ham dsb, dan yang saya lakukan ya melawan. Entah itu
pejabat, kyai, ulama ataupun presiden sekalipun, bila mereka melakukan
penindasan kepada kaum yang lemah tentu harus dilawan dan yang lemah
haruslah dibela. Bukan karena saya merasa kuat, so patriotis atau tek -
tek beungek serupanya, melainkan karena saya adalah manusia. Bukankah
yang membedakan manusia dengan hewan adalah moralitas, perasaan, akal
dan jiwa. Coba bayangkan bila kita menemukan seseorang tengah ditindas
oleh seseorang lainnya, apa kita merasa seolah - olah tak terjadi apa -
apa didepan mata kita.? Tentunya ada perasaan sedih, kesal, marah dan
ingin menolong yang lemah. Apalagi bila yang menindasnya itu adalah
seseorang yang mabuk akan duniawi dan menindas seseorang yang polos dan
tak memiliki daya untuk melawan. Dan untuk melawan pemerintah, telaah
dulu apa sebenarnya yang kita lawan dalam perihal melawan pemerintahan.?
Sistem yang korup dan keputusan yang menyengsarakan rakyat tentunya.
Bentuk perlawanannya pun bukan berbentuk fisik, dengan merusak berbagai
fasilitas misalnya. Kita melawan dengan bersuara, vandal dan hal yang
tidak menjatuhkan korban jiwa lainnya tentunya. Bila vandal kalian sebut
merusak, sesungguhnya korporasi dan pemerintahanpun melakukan hal
merusak yang serupa. Kenapa.? lihatlah poster dan baligho dimusim
parpol, apakah itu bukan vandalisme.? mereka sama - sama memprovokasi.
Yang membedakan hanya misi dan penilaian saja.Ketiga tentang aksi yang
merusak fasilitas umum, tentang hal ini saya sendiri sangatlah tidak
menyukai aksi tersebut. Bila sekedar membakar ban dijalan, coret - coret
dinding mungkin itu masih dalam batas maklum karena tidak terlalu
merusak, dengan sedikit sentuhanpun akan kembali terlihat seperti
semula. Mungkin untuk hal ini harus ada penekan kepada mereka yang aksi,
entah siapapun itu haruslah ada seseorang yang memberikan pengarahan
kepada mereka. Karena apa yang hendak mereka sampaikan tidaklah akan
efektif bila cenderung merusak, khalayak lebih fokus menilai keburukan
ketimbang maksud baik yang hendak disampaikan. Perlu kesabaran ekstra
dan kesadaran akan moralitas juga nilai - nilai estetik dalam melakukan
aksi. Dan mungkin harus fleksibel juga, karena bila kita bertindak
gegabah mungkin khalayak hanya akan mencemooh ketimbang memikirkan apa
yang kita insureksikan. Itu karena setiap kepala memiliki kaca mata yang
tak sama, bukan hal yang mudah untuk menempatkan diri dalam sudut yang
mereka anggap benar. Kenapa.? karena pemikiran yang "kolot" masih sangat
kental dinagara kita ini. Dan tentu saja itupun siasat tirani untuk
mencetak khalayak menjadi sedemikian rupa dan tetap tunduk pada putusan -
putusan yang mereka buat.
Catatan ini hanya sudut pandang saya
pribadi, dan hanya apresiasi kemuakan disela - sela malam kesatiran
saya. Maaf bila ada perkataan yang mengandung belati penyayat hati.
Namun ini tetaplah kejujuran dari apa yang selalu mengganjal dikepala
saya.
Langganan:
Postingan (Atom)