Senin, 06 Februari 2017
Rukh, aku dan peranan kita
Kau tahu rukh.. Sepertinya aku mencintainya lebih dari aku mencintai diriku, meski aku faham bahwa ini akan menjadi kutukan bagiku tapi tak ada dayaku untuk menghentikan laju perasaanku ini.. Apakah kau baik baik saja setelah menyaksikan kenyataan pahit yang harus kita nikmati.?
"Ya kau sendiri merasakan nyeri sesak didada, nyeri yang sama untuk kali ini.. Dan lubang ini lebih besar dari sebelumnya, mungkin karena ketololanmu yang terlalu berharap lebih.."
Aku tahu itu, aku hanya berharap lebih atau menimbun lebih banyak harapan untuknya, aku tak meminta lebih karena seperti apapun dia, dulu ataupun kini, aku selalu merasa hangat saat didekatnya meski itu hanya ilusiku saja.. Ya kehangatan yang mungkin akan kurindukan, dan selamat datang hari hari yang dingin..
"Apa kau ingat, bila kau dan aku terluka secara bersamaan maka nafs takkan bertahan lama.? dan kau akan kehilangan keberadaanmu.."
Untuk sekarang mungkin itu bukan masalah untukku, dan akupun berkata kepada diri agar mempererat hubungannya dengan yang maha diri.. Walaupun aku kehilangan keberadaanku maka yang akan menyumbangkan air mata untukku hanya sahabatku saja mungkin..
"Tapi kau sadar masih ada getaran perasaan yang kuat yang lain mungkin akan sangat tidak merelakan itu.?"
Ya itu takkan lama, sudah kuperjelas bahwa manusia sejatinya hanya hilir mudik didunia ini.. Untuk perihal surga dan neraka, kaupun tahu sendiri itu tercatat dengan jelas didalam kitab kering itu bahwa semua akan merasakan pedihnya api tanpa terkecuali mereka yang membeli tiket khusus sekalipun.. Kita hanya bisa berperan sebaik mungkin, dan ini batas maksimalku..
"Kau bicara terlalu jauh, aku mulai mengkhawatirkan kepribadianmu.. Dan akankah kau memudar.?"
Mungkin yang akan memudar satu satunya adalah kau rukh, untuk diriku mungkin hanya penglihatanku yang memudar tidak dengan tubuhku yang lainnya.. Dan saatku benar benar memudar, maka aku akan memilih untuk terbakar habis..
"Maka kita harus lebih sering bercumbu dengan waktu, setidaknya kita memanfaatkannya sebaik mungkin untuk peranan kita.."
Ya, kupikir begitu seharusnya..
Selembaran Yang Merindukan Kita
Bisingnya suara musik yang kita mainkan disaat kita berkumpul bersama dalam gigs yang kecil yang membesarkan kita tak menyanggupi untuk menyampaikan insureksi yang hendak disampaikan.. Bagaimana tidak bila arti melawan hanya menjadi khiasan dalam sederetan lirik yang mengkritik saja, karena setiap kata menagih realita untuk dapati makna.
Teringat pertengahan july 2007 silam, dalam sebuah gigs dikota kembang ini beberapa orang dengan kostum hardcore punk membagikan selembaran - selembaran yang isinya provokatif dan menguak kebusukan - kebusukan aparat dan pejabat juga berisikan tentang apa itu anarki, anarkis dan anarkisme..
Selembaran yang menjadi senjata untuk diri kita melawan ketidak adilan, kebusukan pemerintahan negara dan koorporasi yang mencetak setiap kepala menjadi si dungu pecandu hedonisme, ya benar benar selembaran yang dirindukan setiap kepalan..
Semakin tahun berlalu semakin komersil pula gigs yang diselenggarakan, berbalik arah menjadi gigs mainstream yang disponsori berbagai produk koorporasi.. Gigs kecil yang memberi semangat perlawanan dan rasa kebersamaan perlahan sulit dijumpai untuk beberapa tahun sebelum 2012 menjelang, hanya pamflet pamflet gigs ug mainstream yang terpampang didinding jalanan, dengan tema acara yang masih sama sebelum terjamah mainstream namun pada hakikatnya sangatlah busuk..
Hingga 2013 awal ada beberapa zine dan newslatter yang menggugahku untuk kembali menginsureksikan warisan yang kupendam, karena sesuatu yang korup dan menyengsarakan haruslah dilawan, faktanya setiap jiwa menagih tindakan dalam keadaan terdiskriminasi..
Namun tetap saja antusias dalam perihal selembaran itu tak serupa dulu, orang - orang lebih suka melihat selembaran iklan diskon harga dan fhasion kekinian ketimbang informasi tentang keadaan negaranya sendiri, terasa memuakan namun itu tidaklah harus menjadi alasan untuk berhenti berbagi informasi dijalanan..
Mungkin dengan media internet hal hal berbagi informasi serupa dulu bisa dilakukan, namun ingat bahwa dijalanan adalah tempat kita bertarung dan melawan yang sejatinya dengan keringat juga darah yang kita korbankan. Dan kenapa kita harus mendengar racauan mereka yang mencandui hal - hal instan bila kita sadar betul bahwa hal itu hanya akan mengikis kreatifitas dan daya ataupun gaya hidup kita..
Kita harus tetap berdiri meski anak negeri tengah dikebiri tirani, kita harus tetap berlari dari buaian produk koorporasi. Tak perlu berharap panjang umur kamerad, cukup lakukan tugasmu selagi masih ada umur..
Kemuakan Di Senja Kemarin
Langit jingga di ufuk barat mengisaratkan gelap siap melahap langit..
Kabar buruk mengharuskanku pulang menengok keadaan dirumah, pamanku sakit parah dan kritis katanya. Mau atau tak mau tak ada alasan untuk tak datang bila keadaan buruk yang bicara.
Ada atmosfir kesedihan ketika aku tiba di depan pintu, atmosfir yang memuakan, dan membuatku enggan untuk masuk kedalam. Tapi kelihatannya tak ada seorangpun didalam rumah, teramat sepi.
Aku masuk dan memastikan karena memang rumahku tak pernah dikunci. Hanya ada ibu didalam rumah, dia diam dan menatap atap. Salamku tak dihiraukannya, bahkan untuk menengokku pun tidak sama sekali.
"Apa yang terjadi pada paman, bu.?" tanyaku sembari duduk dan menikmati segelas air segar
"Dia terjatuh shubuh tadi, dan sekarang tengah dirawat diruang ICU karena tak juga sadarkan diri.." jawabnya dengan mata yang berkaca - kaca. " Pergilah menongoknya, selagi dia masih ada kemungkinan hidup.." lanjutnya.
Ada sedikit kekesalan didadaku, karena dia tak bertanya dimana aku selama ini dan apa saja yang kulalukan. Tapi dalam keadaan seperti ini, hal itu tak begitu penting untuk dibahas.
"Iya bu, nanti seusai aku mandi aku ke RS menengok paman.." jawabku setelah beberapa saat.
Seusai mandi aku berangkat ke RS dan kulihat paman masih tak sadarkan diri, aku tak berlama lama hanya menaruh buah - buahan yang kubawa lekas kembali ke rumah.
Sesampainya dirumah, kulihat ayah yang tengah menonton tv dan menikmati kepulan asap rokok yang dihisapnya. Malas bila aku harus masuk, tapi aku harus mengambil tas dan pakaianku dan langsung pergi. Ketika hendak masuk kamar ayah memanggilku, dengan terpaksa aku menghampiri.
"Dari mana saja kamu selama ini.? Masih ingat punya rumah hah.?" tanya nya dengan nada setengah marah.
"Yang jelas aku belajar hidup mandiri, dimana aku tinggal bukankah itu tak penting. Dan asal ayah tau, ini rumah ibu bukan milikmu." jawabku kesal.
"Tau apa kau tentang rumah, dan mandiri tai kucing. Jangan buatku malu dengan tinggal dirumah orang dan meminta makan pada mereka." kalimat yang menyambar warasku.
"Aku bisa cari makan sendiri, dan asal ayah tau aku tak mau menyusahkan orang lain bahkan orang tuaku juga.. Dan bila ayah malu memilikiku sebagai anak, maka kenapa tak lekas pergi serupa tahun - tahun lalu. Ibu dan aku bisa hidup tanpa ayah." aku tak bisa memendung amarahku lagi.
Tinjuan keras mendarat diwajahku, sakit memang tapi tak ada keinginan untuk membalas.
"Anjing, jangan karena kau sudah besar.. Sudah berani melawan ayahmu, anak sialan.." makinya dengan mulut bau nikotine yang khas.
"Aku bicara jujur, dan itu kenyataannya. Lebih baik ayah tinggal dengan si jalang itu, aku tak butuh kehadiran ayah. Sudah cukup kesakitan aku dan ibu, aku sudah kenyang diabaikan sebagai anakmu. 4 tahun bukan waktu yang sebentar bagiku untuk membiayai hidupku dan menyaksikan jatuhan air mata ibu.. Aku sudah kenyang dengan kesakitan ini yah, dan aku pergi karena aku tak siap untuk memaafkan, tak siap untuk kembali bersama dengan kedatangan ayah uang mendadak ini.. Karena waktu - waktu yang kubutuhkan untuk kehadiran ayah telah berlalu.." air mataku tak bisa kubendung. Si tua bangka tak lagi angkat bicara, dia diam dan memalingkan pandangannya. Disudut kamar aku mendengar tangisan, tangisan ibu yang tak mau keluar melerai pertengkaranku. Suasana yanh memuakan, aku segera kekamarku dan berkemas. Sesaat sebelun aku keluar rumah ibuku bicara dari balik pintu. "Jangan sampai diantara kalian berdua ada yang menyesal pada waktunya tiba.." . Dan aku lekas menancab gas dan pergi kembali ketempat yang menurutku adalah 'rumah'
Sebuah kalimat yang diucapkan ibu adalah kalimat yang membayang didalam tempurung kepalaku, membuatku enggan untuk tidur malam ini.
Kemarin adala senja yang memuakan. Ya.. Kemuakan yang sialan.. Anjing..
Langganan:
Postingan (Atom)