Senin, 06 Februari 2017

Kemuakan Di Senja Kemarin


Langit jingga di ufuk barat mengisaratkan gelap siap melahap langit..
Kabar buruk mengharuskanku pulang menengok keadaan dirumah, pamanku sakit parah dan kritis katanya. Mau atau tak mau tak ada alasan untuk tak datang bila keadaan buruk yang bicara.
Ada atmosfir kesedihan ketika aku tiba di depan pintu, atmosfir yang memuakan, dan membuatku enggan untuk masuk kedalam. Tapi kelihatannya tak ada seorangpun didalam rumah, teramat sepi.
Aku masuk dan memastikan karena memang rumahku tak pernah dikunci. Hanya ada ibu didalam rumah, dia diam dan menatap atap. Salamku tak dihiraukannya, bahkan untuk menengokku pun tidak sama sekali.
"Apa yang terjadi pada paman, bu.?" tanyaku sembari duduk dan menikmati segelas air segar
"Dia terjatuh shubuh tadi, dan sekarang tengah dirawat diruang ICU karena tak juga sadarkan diri.." jawabnya dengan mata yang berkaca - kaca. " Pergilah menongoknya, selagi dia masih ada kemungkinan hidup.." lanjutnya.
Ada sedikit kekesalan didadaku, karena dia tak bertanya dimana aku selama ini dan apa saja yang kulalukan. Tapi dalam keadaan seperti ini, hal itu tak begitu penting untuk dibahas.
"Iya bu, nanti seusai aku mandi aku ke RS menengok paman.." jawabku setelah beberapa saat.
Seusai mandi aku berangkat ke RS dan kulihat paman masih tak sadarkan diri, aku tak berlama lama hanya menaruh buah - buahan yang kubawa lekas kembali ke rumah.
Sesampainya dirumah, kulihat ayah yang tengah menonton tv dan menikmati kepulan asap rokok yang dihisapnya. Malas bila aku harus masuk, tapi aku harus mengambil tas dan pakaianku dan langsung pergi. Ketika hendak masuk kamar ayah memanggilku, dengan terpaksa aku menghampiri.
"Dari mana saja kamu selama ini.? Masih ingat punya rumah hah.?" tanya nya dengan nada setengah marah.
"Yang jelas aku belajar hidup mandiri, dimana aku tinggal bukankah itu tak penting. Dan asal ayah tau, ini rumah ibu bukan milikmu." jawabku kesal.
"Tau apa kau tentang rumah, dan mandiri tai kucing. Jangan buatku malu dengan tinggal dirumah orang dan meminta makan pada mereka." kalimat yang menyambar warasku.
"Aku bisa cari makan sendiri, dan asal ayah tau aku tak mau menyusahkan orang lain bahkan orang tuaku juga.. Dan bila ayah malu memilikiku sebagai anak, maka kenapa tak lekas pergi serupa tahun - tahun lalu. Ibu dan aku bisa hidup tanpa ayah." aku tak bisa memendung amarahku lagi.
Tinjuan keras mendarat diwajahku, sakit memang tapi tak ada keinginan untuk membalas.
"Anjing, jangan karena kau sudah besar.. Sudah berani melawan ayahmu, anak sialan.." makinya dengan mulut bau nikotine yang khas.
"Aku bicara jujur, dan itu kenyataannya. Lebih baik ayah tinggal dengan si jalang itu, aku tak butuh kehadiran ayah. Sudah cukup kesakitan aku dan ibu, aku sudah kenyang diabaikan sebagai anakmu. 4 tahun bukan waktu yang sebentar bagiku untuk membiayai hidupku dan menyaksikan jatuhan air mata ibu.. Aku sudah kenyang dengan kesakitan ini yah, dan aku pergi karena aku tak siap untuk memaafkan, tak siap untuk kembali bersama dengan kedatangan ayah uang mendadak ini.. Karena waktu - waktu yang kubutuhkan untuk kehadiran ayah telah berlalu.." air mataku tak bisa kubendung. Si tua bangka tak lagi angkat bicara, dia diam dan memalingkan pandangannya. Disudut kamar aku mendengar tangisan, tangisan ibu yang tak mau keluar melerai pertengkaranku. Suasana yanh memuakan, aku segera kekamarku dan berkemas. Sesaat sebelun aku keluar rumah ibuku bicara dari balik pintu. "Jangan sampai diantara kalian berdua ada yang menyesal pada waktunya tiba.." . Dan aku lekas menancab gas dan pergi kembali ketempat yang menurutku adalah 'rumah'
Sebuah kalimat yang diucapkan ibu adalah kalimat yang membayang didalam tempurung kepalaku, membuatku enggan untuk tidur malam ini.
Kemarin adala senja yang memuakan. Ya.. Kemuakan yang sialan.. Anjing..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar