Skip basa-basi, berikut adalah poin-poin respon terhadap beberapa hal yang perlu saya tambahkan pasca tulisan ini dirilis:
1. Saya tak habis pikir jika ada yang beropini bahwa saya membuat
banyak aturan dan kemudian menyuruh saya diam. Seperti layaknya fanzine,
blog ini merupakan blog pribadi, bukan portal umum. Semua yang ditulis
disini merupakan perspektif personal, ditulis di blog personal. Bukan
kotbah sejuta umat pada media massa satu channel yang siap mencuci
banyak otak. Oleh karenanya saya tak punya kepentingan untuk mengedit
komen-komen atau bahkan menghapusnya. Perdebatan adalah bagian dari
tulisan saya kemaren, sesampah apapun itu. Jadi, komentar yang menyuruh
orang-orang berhenti berdebat atau diam di ruang yang bukan milik kalian
itu sama sekali tak ada gunanya, meski memang saya tak akan menghapus
atau mengedit komen-komen bernada seperti itu. Jika kalian tak menyukai
banyak hal yang saya tulis di sini, sudah seharusnya kalian membuat
media kalian sendiri dan menulis pendapat kalian tentang apapun yang
kalian suka disana. Jika kalian membenci saya atau apapun yang saya
tulis, tak seharusnya kalian mampir disini dan pergunakanlah waktu
berharga kalian untuk hal-hal lain yang lebih penting. Sesederhana itu.
2. Pendapat itu seperti lubang pantat. Sebau apapun, setiap orang
punya satu. Saya tidak pernah mengklaim sebagai yang paling benar, dan
tidak pernah berniat membuat sebuah daftar FAQ tentang Punk atau kitab
suci punk karena memang tak akan pernah ada. Punk selalu personal, oleh
karenanya tak pernah ada yang seragam. Justu karena individualisme punk
itulah saya menulis opini saya tentang sesuatu (dalam hal ini perihal
aparat), sekali lagi, di blog saya sendiri. Yang saya tulis merupakan
pandangan politik yang seperti layaknya berjuta opini diluar sana,
beberapa orang sepakat, beberapa lain tidak.
3. Saya besar bersama Punk yang saya ketahui. Sedikit banyaknya
berjasa membentuk dan membuat saya sampai di hari ini. Dan satu-satunya
kontribusi balik saya bagi Punk adalah berbagi nilai-nilai yang saya
pahami dan sepakati dengan beberapa lainnya. Senihil apapun makna itu
hari ini. Saya kadung yakin bahwa punk bukan sekedar pilihan selera
musik. Yang saya tekankan pada tulisan kemarin adalah soal prinsip
non-kooperasi dengan aparat. Bukan hal lain. Saya tak punya hak
mengganggu gugat bagaimana seharusnya mereka memainkan musik, harus
bersuara seperti apa musik mereka, atau harus terlihat seperti apa
mereka. Thats pointless. Kebebasan berekspresi sudah seharusnya mutlak
milik mereka dan tak penting dipersoalkan dengan prinsip punk yang saya
pahami tentang otoritas. Saya tak paham juga mengapa isu belok jadi soal
debat apakah punk itu boleh bernuansa pop atau tidak. Atau isu ‘hiphop’
mengadu domba ‘punk’ yang sungguh terdengar menggelikan di era seperti
sekarang dengan scene yang berjalan sejauh ini. Bagaimana bisa seseorang
menghembuskan isu gogon sedangkal dan sehina itu?
4. Isu tentang mereka bermain di acara polisi sudah menjadi bahan
perbincangan dimana-mana sejak hari Senin (2/07), di tangkringan
dimanapun dengan nada dan sentimen yang sama sebelum saya menulisnya di
blog pada hari kamis (5/07). Tuduhan bahwa saya yang mengakibatkan semua
isu punk aparat ini sama sekali mengada-ada, apalagi isu niatan
menghancurkan ‘karir’ sebuah band. Sebuah band dengan basis fans sebesar
Rosemary tak akan runtuh oleh sebuah tulisan pendek di blog kecil di
samudra informasi seperti hari ini. Satu-satunya yang saya harapkan
untuk runtuh adalah keyakinan kalian menggantungkan hidup pada otoritas
korup.
5. Saya dan Gatot (personil Rosemary) bertemu dan berbicara beberapa
hari kemarin. Yang tak banyak orang paham bahwa kami berteman. Sulit
untuk tidak saling kenal di scene di kota sekecil Bandung terutama
dengan teman mutual kami sebanyak itu. Seperti mengenal banyak kawan
lainnya, sebuah kehormatan pernah berkenalan dengan orang seperti Gatot
dimana kami bisa bertukar pikiran, argumen dan pandangan. Perbedaan tak
perlu disamakan, toh jalan yang kami tempuh tak sama. Tapi bukan artinya
kami tak bisa berteman apalagi sekedar nangkring di parkiran dan
berbagi kopi, meski Gatot tak suka kopi. Yang tak saya paham, bagaimana
bisa artikel kecil soal prinsip non-kooperatif dengan aparat bisa
berujung pada isu gosip murahan tentang saya yang menantang tarung fisik
personil Rosemary? Menyebarluaskan fitnah tentang hal-hal yang bahkan
tak saya tulis di artikel itu. In the end of the days, we’re just
regular guys who walk the walk, talk the talk. Saya jalan dengan
keyakinan saya, ia dengan prinsipnya. Kadang di satu titik
bersinggungan, di titik lain berjarak. Rosemary tentu berhak membuat
(atau tidak membuat) pernyataan mereka sendiri di media milik mereka
sendiri. Mereka berhak menjelaskan apapun, mengklarifikasi apapun soal
acara itu bahkan mentertawakan apa yang saya tulis sesuka mereka. Yang
pasti apapun yang mereka tulis tak akan merubah pendapat saya tentang
Gatot sebagai teman baik, juga tak akan merubah pendapat saya perihal
prinsip non-kooperatif dengan aparat.
6. Isu ini berangsur menjadi menjijikan seperti gosip tabloid. Isu
krusial tentang otoritas dilibas oleh isu-isu sampingan yang malah sama
sekali tidak penting. Ketika sebuah gagasan tak lagi bisa memprovokasi
diskusi sudah saatnya disudahi. Time to put action where your mouth is
and practice what you preach.
7. Life goes on. Now, move on.
Post-Script By Herry "Ucok" Sutresna a.k.a.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar